SEABAD lebih kebangkitan negeri ini diupayakan. Boedi Oetomo yang
berdiri 20 Mei 1908 menjadi titik tolak perjuangan Indonesia yang semula
mengandalkan perlawanan fisik kedaerahan menjadi perlawanan nasional
berbasis kekuatan intelektual. Boedi Oetomo yang diprakarsai oleh
Soetomo, Wahidin, dan Soewardi telah menginspirasi kemunculan kesadaran
tentang betapa penting persatuan dan kesatuan bangsa untuk melawan
penjajah.
Perjuangan melalui organisasi kebangsaan merupakan cara baru
melawan penjajah. Para penggagas Boedi Oetomo meyakini kegagalan bangsa
Indonesia mengusir penjajah pada masa sebelum 1908 disebabkan oleh
kekurangan persatuan-kesatuan bangsa. Perlawanan sporadis hanya
mengakibatkan napas perjuangan kembang kempis. Langkah Boedi Oetomo
menjadi inspirasi bagi kemunculan organisasi perjuangan lain seperti
Jong Ambon (1909), Jong Java, Jong Celebes (1917), Jong Sumatera, dan
Jong Minahasa (1918).
Memang keberhasilan atas cita perjuangan tidak dicapai semudah
membalik tangan. Paling tidak butuh waktu 37 tahun bagi gerakan Boedi
Oetomo untuk mewujudkan cita-cita dasar kemerdekaan Indonesia. Namun
demikian, kemerdekaan Indonesia akan sulit terwujud bila gagasan
perubahan strategi perjuangan tidak muncul dari Boedi Oetomo.
Setelah seratus tahun kebangkitan nasional, sudah saatnya kita
merenungkan ulang apakah cita-cita para penggagas Boedi Oetomo itu telah
mampu kita wujudkan?
Waspadai Vampirisme
Bangsa Indonesia memiliki tugas untuk melanjutkan cita-cita
perjuangan generasi masa lalu. Rencana (tersembunyi) Indonesia Merdeka
yang dimiliki Boedi Oetomo memang telah terwujud dalam bentuk
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tapi hakikat kemerdekaan belumlah
tercapai.
Sebagai negara merdeka, mestinya setelah pintu gerbang
kemerdekaan dibuka, kebebasan menentukan nasib sendiri, keadilan bagi
semua warga, kemakmuran yang merata, dan kesejahteraan bersama dapat
dicapai. Sejarah menunjukkan bahwa untuk membuka gerbang kemerdekaan
bangsa dibutuhkan kunci yang terbuat dari kumpulan darah dan nyawa para
pejuang.
Namun setelah kemerdekaan tercapai ternyata berbagai bentuk aksi
vampirisme membajak arah bangsa. Vampirisme adalah sebuah aksi yang
tampak seperti kepahlawanan namun sesungguhnya ia hanyalah sebuah adegan
tanpa jiwa perjuangan.
Gejala vampirisme ini telah dikhawatirkan oleh para pendiri
bangsa termasuk Soekarno. Mereka khawatir bila bangsa ini kehilangan
karakter diri dalam melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Maka sila keempat
Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dijadikan tonggak
berdirinya Indonesia. Sila itu merupakan kristalisasi dari jiwa
perjuangan Boedi Oetomo yang menginginkan pemihakan yang tegas bagi
rakyat Indonesia.
Jiwa kerakyatan inilah yang sejak berdiri rezim Orde Baru
ditafsirkan secara keliru sehingga rakyat muak setiap kali mendengar
Pancasila dan penataran P4. Saat itu nilai-nilai kerakyatan yang
dikandung dalam Pancasila direduksi menjadi tafsir tunggal versi
penguasa. Akibatnya, ketika rakyat bosan dengan sepak terjang penguasa,
serta-merta rakyat juga bosan dengan kerakyatan dan Pancasila.
Celakanya karena pemerintah memegang kendali sepenuhnya atas
pers dan penyiaran di Indonesia, maka masyarakat dicekoki tafsir tunggal
Pancasila yang tiada lain adalah tafsir rezim. Pancasila menjadi kurang
populer di masyarakat. Masyarakat pun berjalan tanpa karakter. Mereka
enggan menerima tafsir penguasa namun tidak kuasa untuk melawan. Gejala
itu berlangsung terlalu lama, hingga ketika datang gelombang globalisasi
jadilah bangsa ini vampir yang tak memiliki karakter diri sehingga
gentayangan tak bertujuan.
Melawan Globalisasi
Salah satu bukti nyata atas kiprah para vampir di negeri ini adalah
aksi para penentu kebijakan negeri yang minus karakter kemandirian dan
jiwa kerakyatan. Mereka mengajak perusahaan-perusahaan raksasa
multinasional yang rata-rata perpanjangan tangan AS untuk ramai-ramai
menghisap kekayaan alam Indonesia. Merekalah yang membuat kontrak kerja
sama eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang sangat merugikan negara,
karena keuntungan terbesar justru diterima perusahaan-perusahaan itu.
Praktik vampirisme itu berdiri sejak era Orde Baru hingga
sekarang. Joseph E Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi 2001, pernah
menyarankan kepada bangsa ini untuk merumuskan ulang kontrak
perusahaan-perusahaan itu seperti yang dilakukan oleh Hugo Chavez yang
membalik bagian yang diterima negaranya (Venezuela) yang semula hanya 12
persen untuk Venezuela dan 82 persen untuk perusahaan asing menjadi
sebaliknya. Begitu pula yang dilakukan Putin yang mencabut izin operasi
perusahaan asing yang jelas-jelas merugikan Rusia. Bahkan Stiglitz
mencibir, Bila pemimpin Indonesia mau, sebenarnya perusahaan-perusahaan
itu tak ada alasan untuk menolak. Toh mereka tahu sesungguhnya apa yang
mereka lakukan hanyalah merampok. Stiglitz memang dikenal pengkritik
tajam neo-imperialisme yang terwujud dalam tubuh IMF, Bank dunia, dan
WTO. Mantan petinggi Bank Dunia berhati jernih ini tak bosan-bosannya
menyerukan tata ekonomi dunia yang lebih adil bagi negara berkembang.
Nasihat tokoh sekaliber Stiglitz tak akan banyak berarti bagi
kebangkitan Indonesia, tanpa aksi nyata para penentu kebijakan negeri
ini. Selama mereka masih pemimpin berjiwa vampir, maka mereka tentu
lebih takut pada tekanan IMF daripada 200 juta rakyat yang tak bisa
bernafas akibat resep yang keliru dari IMF. Bahkan Stiglitz menegaskan
bahwa negara-negara yang kebangkitan ekonominya cepat setelah ditimpa
krisis adalah negara yang membangkang terhadap IMF. Argentina dan
Malaysia adalah contoh nyata. Sayang, Indonesia adalah negeri yang
paling penurut terhadap IMF yang tiada lain adalah pengawal bagi
hegemoni negara-negara maju atas negara-negara berkembang.
Jati Diri Bangsa
Setelah seratus tahun bangsa ini menyusuri jalan-jalan terjal
kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah saatnya seluruh komponen negeri
ini bertobat dan kembali pada jati diri bangsa sebagaimana terkandung
dalam Pancasila yang murni dalam arti yang sesungguhnya bukan murni
versi rezim Orde Baru. Semangat kerakyatan, kebersamaan, keadilan
sosial, dan kemandirian merupakan jati diri bangsa yang terbukti mampu
mengusir kompeni. Itulah watak dasar bangsa ini. Bila dengan karakter
bangsa kita telah mampu mengusir penjajah, mestinya dengan semangat yang
sama kita mampu mengusir dampak negatif globalisasi.
Marilah kita ingatkan mereka yang saat ini mengawal nasib 250
juta rakyat. Kita tidak boleh menghanyutkan diri dalam arus globalisasi
yang penuh gombalisasi itu.
Kita harus tetap berdaulat dengan negeri kita sendiri yang
didirikan oleh nenek moyang kita dengan penuh onak dan duri. Tugas para
pemimpin negeri hanya satu yakni membuat tangis rakyat menjadi senyuman,
bukan sebaliknya. Bila para pemimpin adalah anak-anak negeri yang
menghayati semangat kebangsaan, maka mereka tidak akan bertindak
menyalahi hati nuraninya. Tapi bila mereka telah berubah menjadi vampir,
maka mereka akan menghamba pada kekuatan neo-kolonialisme yang berwujud
IMF, Bank Dunia, dan WTO itu. Kalau sudah begitu, percuma bangsa ini
memiliki negara dan pemerintahan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis kutipkan perkataan rektor
yang mewisuda Bung Karno menjadi sarjana teknik sipil. Sang rektor
berkata,Ir Soekarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di
satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang
bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap
hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati.
Bila bangsa ini tak kembali kepada karakternya, maka ia akan
hancur menjadi abu karena gelombang globalisasi yang penuh dengan
gombalisasi itu. (35)