Kutipan dari Jejak Langkah-nya Pramoedya Ananta Toer
"Dan modern adalah juga kesunyian anak yatim piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya." (Mingke, hal. 2)
"Lakukan segala keperluan tanpa pertolongan. Karena: barangsiapa memerlukan pertolongan, dia tempatkan diri dalam takluk tergantung-gantung pada orang lain. Bebas! Sepenuh bebas. Hanya kepentingan-kepentingan yang bakal mengikatkan diri pada sesuatu." (ibid)
"... kemakmuran dan kebahagiaan dari desa-desa, dieksport. Dan import juga: barang-barang pelupa, kemakmuran dan kebahagiaan yang sudah tergadai." (Mingke, hal. 11)
"Tak mau ikut dengan kemajuan? akan ikut terinjak-injak jadi kasut." (ibid)
"Ilmu-pengetahuan, Tuan-tuan, betapapun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia--dia pun tak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsa." (Van Kollewijn, hal. 41)
"Seorang ibu selalu mengampuni anaknya, biarpun anak itu seperti kau, yang baru pandai membangun kesengsaraan untuk dirinya sendiri." (Bunda, hal. 76)
"Mengapa kau pandangi aku sampai begitu?"
"Bukan salahku" kataku.
"Aku yang salah?"
"Ya. Kau yang salah. Kau terlalu menarik."
(Percakapan Mingke dengan Ang San Mei, hal. 112)
"Kasih-sayang orangtua kadang justru yang tidak patut untuk dilawan demi kemengangan kebebasan (itu). Apakah arti kebebasan kalau karenanya membikin hati orangtua yang mengasih dan menyayang menderita? Kan itu hanya perpindahan penderitaan belaka?" (Gadis Jepara, hal. 145)
"..., yang ada disekeliling adalah penderitaan karena kebodohan, ketidak-tahuan; di atasnya: kepandaian, ilmu-pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan yang justru membikin dan mempertahankan penderitaan.
...
..., penderitaan bukan sebagai gagasan, hanya sebagai akibat. Bukan berarti, kesukaan tidak ada. Di mana ada derita di sana juga ada suka. Tetapi penderitaan di sini adalah suatu ragangan, tulang-belulang kehidupan. memang orang tidak selalu merasakannya bila tidak pernah mengetahuinya. Begitu mengerti orang akan lebih menderita lagi karena tidak bisa berbuat sesuatu. Karena itu orang Belanda sering membisikkan: Berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti." (Gadis Jepara, hal 146-157)
"Sekali lagi terkesan olehku gadis Jepara itu sedang bergumul dengan perasaan dan pikirannya sendiri--tragedi manusia modern yang tak mendapat jalan keluar dari libatan pikiran sendiri. Seribu dewa pun takkan mampu melepaskan dirinya daripadanya. Hanya diri sendiri yang bisa mengusahakan, kata sebuah tulisan. Para dewa tidak sepemurah di jaman nenek-moyang. Jaman modern telah membikin manusia mengambil tanggung-jawab atas dirinya sendiri. Merenggutkannya dari tangan para dewa. Tak ada lagi Deux ex machina seperti dalam dongengan nenek-moyang, kata tulisan itu lagi." (Mingke, hal. 151-152)
"Nenek moyang mereka mengajarkan: tak ada satria lahir, tumbuh dan perkasa tanpa ujian." (Mingke, hal. 201)
"Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji?" (Mingke, hal. 213)
"Nampaknya lain yang kupersiapkan dalam batin, lain pula yang harus terjadi." (Mingke, hal. 227)
"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, terngiang kembali kata-kata Mei, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan tentangnya." (Mingke, hal. 262-263)
"Tanpa pernah punya perbandingan. Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan." (Mingke, hal. 264-265)
"Dalam buku harian kupaterikan ini: Siapa dapat ramalkan bagaimana bakal jadinya bayi? Jadi nabi atau bajingan, atau sekedar jadi tambahan isi dunia, polos, tanpa apa-apa." (Mingke, hal. 296)
"Dengan meniru atasan orang semakin mengurangi tanggung jawab pribadi, yang memang sudah kurang dari hanya pas-pasan." (ibid)
"Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lian mengertikannya. Karena, kata orang, dia adalah sumber segala-galanya..." (Mingke, hal. 320)
"Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai, setengah pekerjaan seudah selesai, kata pepatah." (Van Heutsz, hal. 343)
"Dan memang pembesar butuh pendengar. Setiap pembesar begitu. Merasa berbobot kalau sudah ngomong, lebih berbobot lagi kalau tak mendengarkan orang lain." (Mingke, hal, 344)
"Mana ada orang yang bisa tumbuh tanpa bantuan?" (Mngke, hal. 350)
"Hanya ranting-ranting tua bisa patah. Batang muda tetap meliuk kena terjang badai. karena hanya sipandir melawannya." (Sanikem Marais, hal. 380)
"Sudah kulihat dunia sebagaimana aku ingn lihat. Sudah lakukan apa yang ingin aku lakukan." (Ang San Mei, hal. 405)
"Panjang kenikmatan manusia tidak melebihi limabelas sentimeter." (441)
"Sayang sekali, ada kesukaan padaku untuk melenyapkan diri dalam segala, Tuan. Bukan, bukan kesukaan. Mungkin lebih tepat dinamai kecenderungan." (Hadji Moeloek, hal. 442-443)
"Memang semakin jauh orang dari jabatan negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak terjangnya, karena memang pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayang-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya." (Douwager, hal. 465)
"Setiap pandangan dan pendapat baru selalu memanggil lawan. Ia dilahirkan karena perlawanan terhadap yang sudah ada dengan setumpuk kekurangannya." (Douwager, hal. 468-469)
"Semua cerita yang tidak tentang kehidupan bebas--membosankan." (Hadji Moeloek, hal. 473)
"Bagi yang kehausan di gurun pasir setitik embun kotor pun akan diraih, bahkan fatamorgana pun akan diparani." (Mingke, hal. 495)
"Tak ada yang lebih mengetahui daripada Tuhan. Seseorang melakukan sesuatu sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan dan kebutuhannya. Adapun hubungan manusia dengan Tuhan, hanya Tuhan saja yang tahu--Tuhan dan manusia yang berkepentingan. Orang lain tidak akan tahu, sekalipun dia ayah atau ibunya sendiri. Yang tampaknya bersembahyang belum tentu ada hubungan dengan Tuhan atau sebaliknya, yang nampaknya tidak bersembahyang mungkin justru mempunyai hubungan mesra dengan-Nya." (510)
"Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang di gurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samodra takkan menggunakan onta." (Mingke, hal. 511)
"Perdagangan adalah jiwa negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering-kerontang seperti Arabia, kalau perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan subur, kalau perdagangannya kembang-kempis, semua ikut kembang-kempis, bangsanya tetap miskin. Negeri-negeri kecil menjadi besar karena perdagangannya dan negeri besar menjadi kecil karena menciut perdagangannya." (Sjeh Ahmad Badjened, hal. 519-520)
"Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang yang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, karena memang akalnya mati. Lihat saja diriku ini. Jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi S.A.W pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ihwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh." (Thamrin Mohammad Thabrie, hal. 520)
"Siapa bisa membebaskan diri dari perdagangan? Tak seorang pun! sejak dalam kandungan sampai tua renta menghadapi maut orang ikut serta dalam lalu lintas perdangangan. Dari popok sampai kafan." (Mingke, hal. 521)
"Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama tidak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan." (Mingke, hal. 526-527)
"Tetapi di jaman modern ini, ada banyak cara dan alat untuk membikin orang suka berjual-beli, di negeri-negeri paling maju sekali pun, di Amerika Serikat. Iklan-iklan raksasa seperti air laut bergelombang-gelombang membentuk kesan tanpa henti, orang ditodong, diancam, kalau tidak membeli dan menggunakan produksinya, akan rugi, akan begini, begitu. Lama-kelamaan orang percaya, terpaksa atau dipaksa membeli karena berhasil dibikin limbung. Juga dengan perusahaan-perusahaan pakaian. Orang dipaksa-paksa untuk membeli dan menggunakannya. Kalau tidak, orang dianggap ketinggalan jaman." (Douwager, hal. 527)
"Jangan kehilangan keseimbangan! Berseru-seru aku pada diri sendiri, memperingatkan. Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik kebesaran adalah kehancuran. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah--jalan ke arah kelestarian." (Mingke, hal. 574-575)
576
579
581
"Tidak semua usaha berhasil. Yang nampaknya berhasil pun belum tentu sebagaimana aku duga. Hati manusia bermuka sejuta." (Mingke, hal. 583)
"Dan kecerdasan untuk seorang wanita adalah kecantikan tambahan." (Mingke, hal. 619)
628
"Sekolah-sekolah tak pernah mengajarkan: beginilah macamnya dunia manuisa." (685)
702
"Lakukan segala keperluan tanpa pertolongan. Karena: barangsiapa memerlukan pertolongan, dia tempatkan diri dalam takluk tergantung-gantung pada orang lain. Bebas! Sepenuh bebas. Hanya kepentingan-kepentingan yang bakal mengikatkan diri pada sesuatu." (ibid)
"... kemakmuran dan kebahagiaan dari desa-desa, dieksport. Dan import juga: barang-barang pelupa, kemakmuran dan kebahagiaan yang sudah tergadai." (Mingke, hal. 11)
"Tak mau ikut dengan kemajuan? akan ikut terinjak-injak jadi kasut." (ibid)
"Ilmu-pengetahuan, Tuan-tuan, betapapun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia--dia pun tak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsa." (Van Kollewijn, hal. 41)
"Seorang ibu selalu mengampuni anaknya, biarpun anak itu seperti kau, yang baru pandai membangun kesengsaraan untuk dirinya sendiri." (Bunda, hal. 76)
"Mengapa kau pandangi aku sampai begitu?"
"Bukan salahku" kataku.
"Aku yang salah?"
"Ya. Kau yang salah. Kau terlalu menarik."
(Percakapan Mingke dengan Ang San Mei, hal. 112)
"Kasih-sayang orangtua kadang justru yang tidak patut untuk dilawan demi kemengangan kebebasan (itu). Apakah arti kebebasan kalau karenanya membikin hati orangtua yang mengasih dan menyayang menderita? Kan itu hanya perpindahan penderitaan belaka?" (Gadis Jepara, hal. 145)
"..., yang ada disekeliling adalah penderitaan karena kebodohan, ketidak-tahuan; di atasnya: kepandaian, ilmu-pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan yang justru membikin dan mempertahankan penderitaan.
...
..., penderitaan bukan sebagai gagasan, hanya sebagai akibat. Bukan berarti, kesukaan tidak ada. Di mana ada derita di sana juga ada suka. Tetapi penderitaan di sini adalah suatu ragangan, tulang-belulang kehidupan. memang orang tidak selalu merasakannya bila tidak pernah mengetahuinya. Begitu mengerti orang akan lebih menderita lagi karena tidak bisa berbuat sesuatu. Karena itu orang Belanda sering membisikkan: Berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti." (Gadis Jepara, hal 146-157)
"Sekali lagi terkesan olehku gadis Jepara itu sedang bergumul dengan perasaan dan pikirannya sendiri--tragedi manusia modern yang tak mendapat jalan keluar dari libatan pikiran sendiri. Seribu dewa pun takkan mampu melepaskan dirinya daripadanya. Hanya diri sendiri yang bisa mengusahakan, kata sebuah tulisan. Para dewa tidak sepemurah di jaman nenek-moyang. Jaman modern telah membikin manusia mengambil tanggung-jawab atas dirinya sendiri. Merenggutkannya dari tangan para dewa. Tak ada lagi Deux ex machina seperti dalam dongengan nenek-moyang, kata tulisan itu lagi." (Mingke, hal. 151-152)
"Nenek moyang mereka mengajarkan: tak ada satria lahir, tumbuh dan perkasa tanpa ujian." (Mingke, hal. 201)
"Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji?" (Mingke, hal. 213)
"Nampaknya lain yang kupersiapkan dalam batin, lain pula yang harus terjadi." (Mingke, hal. 227)
"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, terngiang kembali kata-kata Mei, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan tentangnya." (Mingke, hal. 262-263)
"Tanpa pernah punya perbandingan. Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan." (Mingke, hal. 264-265)
"Dalam buku harian kupaterikan ini: Siapa dapat ramalkan bagaimana bakal jadinya bayi? Jadi nabi atau bajingan, atau sekedar jadi tambahan isi dunia, polos, tanpa apa-apa." (Mingke, hal. 296)
"Dengan meniru atasan orang semakin mengurangi tanggung jawab pribadi, yang memang sudah kurang dari hanya pas-pasan." (ibid)
"Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lian mengertikannya. Karena, kata orang, dia adalah sumber segala-galanya..." (Mingke, hal. 320)
"Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai, setengah pekerjaan seudah selesai, kata pepatah." (Van Heutsz, hal. 343)
"Dan memang pembesar butuh pendengar. Setiap pembesar begitu. Merasa berbobot kalau sudah ngomong, lebih berbobot lagi kalau tak mendengarkan orang lain." (Mingke, hal, 344)
"Mana ada orang yang bisa tumbuh tanpa bantuan?" (Mngke, hal. 350)
"Hanya ranting-ranting tua bisa patah. Batang muda tetap meliuk kena terjang badai. karena hanya sipandir melawannya." (Sanikem Marais, hal. 380)
"Sudah kulihat dunia sebagaimana aku ingn lihat. Sudah lakukan apa yang ingin aku lakukan." (Ang San Mei, hal. 405)
"Panjang kenikmatan manusia tidak melebihi limabelas sentimeter." (441)
"Sayang sekali, ada kesukaan padaku untuk melenyapkan diri dalam segala, Tuan. Bukan, bukan kesukaan. Mungkin lebih tepat dinamai kecenderungan." (Hadji Moeloek, hal. 442-443)
"Memang semakin jauh orang dari jabatan negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak terjangnya, karena memang pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayang-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya." (Douwager, hal. 465)
"Setiap pandangan dan pendapat baru selalu memanggil lawan. Ia dilahirkan karena perlawanan terhadap yang sudah ada dengan setumpuk kekurangannya." (Douwager, hal. 468-469)
"Semua cerita yang tidak tentang kehidupan bebas--membosankan." (Hadji Moeloek, hal. 473)
"Bagi yang kehausan di gurun pasir setitik embun kotor pun akan diraih, bahkan fatamorgana pun akan diparani." (Mingke, hal. 495)
"Tak ada yang lebih mengetahui daripada Tuhan. Seseorang melakukan sesuatu sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan dan kebutuhannya. Adapun hubungan manusia dengan Tuhan, hanya Tuhan saja yang tahu--Tuhan dan manusia yang berkepentingan. Orang lain tidak akan tahu, sekalipun dia ayah atau ibunya sendiri. Yang tampaknya bersembahyang belum tentu ada hubungan dengan Tuhan atau sebaliknya, yang nampaknya tidak bersembahyang mungkin justru mempunyai hubungan mesra dengan-Nya." (510)
"Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang di gurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samodra takkan menggunakan onta." (Mingke, hal. 511)
"Perdagangan adalah jiwa negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering-kerontang seperti Arabia, kalau perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan subur, kalau perdagangannya kembang-kempis, semua ikut kembang-kempis, bangsanya tetap miskin. Negeri-negeri kecil menjadi besar karena perdagangannya dan negeri besar menjadi kecil karena menciut perdagangannya." (Sjeh Ahmad Badjened, hal. 519-520)
"Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang yang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, karena memang akalnya mati. Lihat saja diriku ini. Jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi S.A.W pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ihwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh." (Thamrin Mohammad Thabrie, hal. 520)
"Siapa bisa membebaskan diri dari perdagangan? Tak seorang pun! sejak dalam kandungan sampai tua renta menghadapi maut orang ikut serta dalam lalu lintas perdangangan. Dari popok sampai kafan." (Mingke, hal. 521)
"Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama tidak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan." (Mingke, hal. 526-527)
"Tetapi di jaman modern ini, ada banyak cara dan alat untuk membikin orang suka berjual-beli, di negeri-negeri paling maju sekali pun, di Amerika Serikat. Iklan-iklan raksasa seperti air laut bergelombang-gelombang membentuk kesan tanpa henti, orang ditodong, diancam, kalau tidak membeli dan menggunakan produksinya, akan rugi, akan begini, begitu. Lama-kelamaan orang percaya, terpaksa atau dipaksa membeli karena berhasil dibikin limbung. Juga dengan perusahaan-perusahaan pakaian. Orang dipaksa-paksa untuk membeli dan menggunakannya. Kalau tidak, orang dianggap ketinggalan jaman." (Douwager, hal. 527)
"Jangan kehilangan keseimbangan! Berseru-seru aku pada diri sendiri, memperingatkan. Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik kebesaran adalah kehancuran. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah--jalan ke arah kelestarian." (Mingke, hal. 574-575)
576
579
581
"Tidak semua usaha berhasil. Yang nampaknya berhasil pun belum tentu sebagaimana aku duga. Hati manusia bermuka sejuta." (Mingke, hal. 583)
"Dan kecerdasan untuk seorang wanita adalah kecantikan tambahan." (Mingke, hal. 619)
628
"Sekolah-sekolah tak pernah mengajarkan: beginilah macamnya dunia manuisa." (685)
702
Tidak ada komentar:
Posting Komentar