my Foto

LEBIH BAIK DI ASINGKAN, DARIPADA DIAM DALAM KEMUNAFIKAN

Jumat, 17 Mei 2013

SEABAD lebih kebangkitan negeri ini diupayakan. Boedi Oetomo yang berdiri 20 Mei 1908 menjadi titik tolak perjuangan Indonesia yang semula mengandalkan perlawanan fisik kedaerahan menjadi perlawanan nasional berbasis kekuatan intelektual. Boedi Oetomo yang diprakarsai oleh Soetomo, Wahidin, dan Soewardi telah menginspirasi kemunculan kesadaran tentang betapa penting persatuan dan kesatuan bangsa untuk melawan penjajah.

Perjuangan melalui organisasi kebangsaan merupakan cara baru melawan penjajah. Para penggagas Boedi Oetomo meyakini kegagalan bangsa Indonesia mengusir penjajah pada masa sebelum 1908 disebabkan oleh kekurangan persatuan-kesatuan bangsa. Perlawanan sporadis hanya mengakibatkan napas perjuangan kembang kempis. Langkah Boedi Oetomo menjadi inspirasi bagi kemunculan organisasi perjuangan lain seperti Jong Ambon (1909), Jong Java, Jong Celebes (1917), Jong Sumatera, dan Jong Minahasa (1918).

Memang keberhasilan atas cita perjuangan tidak dicapai semudah membalik tangan. Paling tidak butuh waktu 37 tahun bagi gerakan Boedi Oetomo untuk mewujudkan cita-cita dasar kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, kemerdekaan Indonesia akan sulit terwujud bila gagasan perubahan strategi perjuangan tidak muncul dari Boedi Oetomo.

Setelah seratus tahun kebangkitan nasional, sudah saatnya kita merenungkan ulang apakah cita-cita para penggagas Boedi Oetomo itu telah mampu kita wujudkan?

Waspadai Vampirisme    
Bangsa Indonesia memiliki tugas untuk melanjutkan cita-cita perjuangan generasi masa lalu. Rencana (tersembunyi) Indonesia Merdeka yang dimiliki Boedi Oetomo memang telah terwujud dalam bentuk kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tapi hakikat kemerdekaan belumlah tercapai.

Sebagai negara merdeka, mestinya setelah pintu gerbang kemerdekaan dibuka, kebebasan menentukan nasib sendiri, keadilan bagi semua warga, kemakmuran yang merata, dan kesejahteraan bersama dapat dicapai. Sejarah menunjukkan bahwa untuk membuka gerbang kemerdekaan bangsa dibutuhkan kunci yang terbuat dari kumpulan darah dan nyawa para pejuang.
Namun setelah kemerdekaan tercapai ternyata berbagai bentuk aksi vampirisme membajak arah bangsa. Vampirisme adalah sebuah aksi yang tampak seperti kepahlawanan namun sesungguhnya ia hanyalah sebuah adegan tanpa jiwa perjuangan.

Gejala vampirisme ini telah dikhawatirkan oleh para pendiri bangsa termasuk Soekarno. Mereka khawatir bila bangsa ini kehilangan karakter diri dalam melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Maka sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dijadikan tonggak berdirinya Indonesia. Sila itu merupakan kristalisasi dari jiwa perjuangan Boedi Oetomo yang menginginkan pemihakan yang tegas bagi rakyat Indonesia.

Jiwa kerakyatan inilah yang sejak berdiri rezim Orde Baru ditafsirkan secara keliru sehingga rakyat muak setiap kali mendengar Pancasila dan penataran P4. Saat itu nilai-nilai kerakyatan yang dikandung dalam Pancasila direduksi menjadi tafsir tunggal versi penguasa. Akibatnya, ketika rakyat bosan dengan sepak terjang penguasa, serta-merta rakyat juga bosan dengan ”kerakyatan dan Pancasila”.

Celakanya karena pemerintah memegang kendali sepenuhnya atas pers dan penyiaran di Indonesia, maka masyarakat dicekoki tafsir tunggal Pancasila yang tiada lain adalah tafsir rezim. Pancasila menjadi kurang populer di masyarakat. Masyarakat pun berjalan tanpa karakter. Mereka enggan menerima tafsir penguasa namun tidak kuasa untuk melawan. Gejala itu berlangsung terlalu lama, hingga ketika datang gelombang globalisasi jadilah bangsa ini vampir yang tak memiliki karakter diri sehingga gentayangan tak bertujuan.

Melawan Globalisasi
Salah satu bukti nyata atas kiprah para vampir di negeri ini adalah aksi para penentu kebijakan negeri yang minus karakter kemandirian dan jiwa kerakyatan. Mereka mengajak perusahaan-perusahaan raksasa multinasional yang rata-rata perpanjangan tangan AS untuk ramai-ramai menghisap kekayaan alam Indonesia. Merekalah yang membuat kontrak kerja sama eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang sangat merugikan negara, karena keuntungan terbesar justru diterima perusahaan-perusahaan itu.

Praktik vampirisme itu berdiri sejak era Orde Baru hingga sekarang. Joseph E Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi 2001, pernah menyarankan kepada bangsa ini untuk merumuskan ulang kontrak perusahaan-perusahaan itu seperti yang dilakukan oleh Hugo Chavez yang membalik bagian yang diterima negaranya (Venezuela) yang semula hanya 12 persen untuk Venezuela dan 82 persen untuk perusahaan asing menjadi sebaliknya. Begitu pula yang dilakukan Putin yang mencabut izin operasi perusahaan asing yang jelas-jelas merugikan Rusia. Bahkan Stiglitz mencibir, ”Bila pemimpin Indonesia mau, sebenarnya perusahaan-perusahaan itu tak ada alasan untuk menolak. Toh mereka tahu sesungguhnya apa yang mereka lakukan hanyalah merampok”. Stiglitz memang dikenal pengkritik tajam neo-imperialisme yang terwujud dalam tubuh IMF, Bank dunia, dan WTO. Mantan petinggi Bank Dunia berhati jernih ini tak bosan-bosannya menyerukan tata ekonomi dunia yang lebih adil bagi negara berkembang.

Nasihat tokoh sekaliber Stiglitz tak akan banyak berarti bagi kebangkitan Indonesia, tanpa aksi nyata para penentu kebijakan negeri ini. Selama mereka masih pemimpin berjiwa vampir, maka mereka tentu lebih takut pada tekanan IMF daripada 200 juta rakyat yang tak bisa bernafas akibat resep yang keliru dari IMF. Bahkan Stiglitz menegaskan bahwa negara-negara yang kebangkitan ekonominya cepat setelah ditimpa krisis adalah negara yang membangkang terhadap IMF. Argentina dan Malaysia adalah contoh nyata. Sayang, Indonesia adalah negeri yang paling penurut terhadap IMF yang tiada lain adalah pengawal bagi hegemoni negara-negara maju atas negara-negara berkembang.

Jati Diri Bangsa
Setelah seratus tahun bangsa ini menyusuri jalan-jalan terjal kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah saatnya seluruh komponen negeri ini bertobat dan kembali pada jati diri bangsa sebagaimana terkandung dalam Pancasila yang murni dalam arti yang sesungguhnya bukan murni versi rezim Orde Baru. Semangat kerakyatan, kebersamaan, keadilan sosial, dan kemandirian merupakan jati diri bangsa yang terbukti mampu mengusir kompeni. Itulah watak dasar bangsa ini. Bila dengan karakter bangsa kita telah mampu mengusir penjajah, mestinya dengan semangat yang sama kita mampu mengusir dampak negatif globalisasi.

Marilah kita ingatkan mereka yang saat ini mengawal nasib 250 juta rakyat. Kita tidak boleh menghanyutkan diri dalam arus globalisasi yang penuh gombalisasi itu.

Kita harus tetap berdaulat dengan negeri kita sendiri yang didirikan oleh nenek moyang kita dengan penuh onak dan duri. Tugas para pemimpin negeri hanya satu yakni membuat tangis rakyat menjadi senyuman, bukan sebaliknya. Bila para pemimpin adalah anak-anak negeri yang menghayati semangat kebangsaan, maka mereka tidak akan bertindak menyalahi hati nuraninya. Tapi bila mereka telah berubah menjadi vampir, maka mereka akan menghamba pada kekuatan neo-kolonialisme yang berwujud IMF, Bank Dunia, dan WTO itu. Kalau sudah begitu, percuma bangsa ini memiliki negara dan pemerintahan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis kutipkan perkataan rektor yang mewisuda Bung Karno menjadi sarjana teknik sipil. Sang rektor berkata,”Ir Soekarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati.”

Bila bangsa ini tak kembali kepada karakternya, maka ia akan hancur menjadi abu karena gelombang globalisasi yang penuh dengan gombalisasi itu. (35)