my Foto

LEBIH BAIK DI ASINGKAN, DARIPADA DIAM DALAM KEMUNAFIKAN

Senin, 08 Juli 2013

Pramoedya Ananta Toer

Meskipun sudah 7 tahun berlalu sejak meninggalnya, sosok Pramoedya Ananta Toer tetap diingat masyarakat Indonesia. Dikenang sebagai sastrawan yang berjuang, di lain pihak tetaplah kenang dirinya sebagai manusia semata.
Pramoedya-Ananta-Toer-650
SETIAP tanggal 30 April, kita mengenang suatu peristiwa penting dalam dunia perbukuan di Indonesia khususnya, dan di Indonesia pada umumnya: meninggalnya Pramoedya Ananta Toer pada tanggal 30 April 2006. Ia adalah sastrawan yang berkali-kali dinominasikan mendapat penghargaan Nobel Sastra. Peristiwa ini menandakan ada upaya dari masyarakat untuk tidak melupakan sosok penulis yang selama hidupnya selalu dipinggirkan oleh kekuasaan.

Apa yang membuat masyarakat tidak bisa melupakan Pramoedya Ananta Toer? Karena ia adalah bukti hidup “saat kata menjadi senjata”. Pada tahun 1988, Pramoedya mengatakan, “Saya makin bingung dengan Indonesia ini. Takut dengan pengarang dan dipenjarakannya saya selama 14 tahun tanpa pengadilan. Padahal di belakang saya selain sepi sunyi tak ada deretan tentara, persenjataan canggih, atau pembunuh-pembunuh bayaran. Heran saya.”
Keheranan Pramoedya ini sebenarnya tidak cukup kuat argumennya karena jelas betul riwayat politik dan penulisan Pramoedya memang tidak bisa dikesampingkan begitu saja oleh rezim Orde Baru. Apalagi Pramoedya memegang ingatan sejarah akan rezim yang baru saja ditumbangkan oleh Orde Baru. Ia adalah citra manusia Indonesia yang mengalami penjajahan demi penjajahan, demokrasi demi demokrasi, gerakan demi gerakan. Tentara perlu “melumpuhkan” dirinya dan membuat ia “dilupakan”, tetapi Pramoedya Ananta Toer ternyata tidak bisa dilumpuhkan dan tidak bisa dilupakan. Meski tentara memenjarakannya selama 14 tahun dimana 10 tahun ia berada di pulau Buru, lalu karya-karyanya dibakar. Tetapi generasi muda tetap menganggap penting pikiran-pikiran yang ditinggalkan Pramoedya yang telah ia tuliskan di buku-bukunya dan tindakan-tindakannya.
Menulis untuk Hidup
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925, sebagai anak sulung pasangan Mastoer dan Oemi Saidah. Mastoer berasal dari kalangan keluarga yang dekat dengan agama Islam. Ibunya anak penghulu Rembang. Keduanya anak orang terdidik. Mastoer seorang guru sekaligus aktivitis politik di Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Ayah Pramoedya memiliki cita-cita dalam dunia pendidikan yang sejalan dengan Taman Siswa dan terlibat dalam gerakan nasional dengan melawan tekanan dan tuntutan penjajah, juga sangat aktif di kebudayaan.
Ibunya, Oemi Saidah sendiri orang yang lembut dan lemah. Dia sering sakit-sakitan. Ketika ayahnya tak lagi bertanggung jawab terhadap keluarga, ibunyalah yang mengambil alih semua tanggung jawab. Pengalaman masa kecil itu yang menjadi bangunan kisah dalam kumpulan cerita di Tjerita dari Blora (1952).
Saat kehidupan kian susah, Pramoedya Ananta Toer menjadikan kegiatan menulis sebagai sumber nafkah. Adik-adiknya pun diikutsertakan dalam kegiatan ini, sehingga Pramoedya bisa menghidupi adik-adiknya pasca meninggal ibu yang dicintainya. Karyanya kaya akan kisah manusia yang dibendung oleh kekecewaan, sebagai korban, tak lain cerminan dari kisah hidupnya sendiri. Dalam cerita “Blora”, “Dia Jang Menyerah”, dan Bukan Pasar Malam Pramoedya Ananta Toer secara sadar menggambarkan kehidupan keluarganya di Blora.
Sebagaimana Pramoedya menulis sendiri:
“Cerita selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.. jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang; pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.”
Dalam kisahnya, dengan mudah kita temukan Pramoedya sebagai manusia yang terlibat dalam banyak hal, seperti dalam perjuangan bawah tanah gerilyawan Pembela Tanah Air (Peta) melawan penjajah menjadi garis utama plot novelPerburuan (1950) dan penderitaan masyarakat Jawa digambarkan dalam cerita “Dia Jang Menjerah” dalam Tjerita dari Blora. Pengalaman Pram saat revolusi juga tersirat pada cerpen “Dendam”, “Blora”, dan “Jalan Kurantil No. 28” dalam kumpulan cerpen Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi (1950); “Lemari Antik”, “Kemana??”, dan “Kemelut” dalam kumpulan cerpen Pertjikan Revolusi (1950), begitu pula pada roman Keluarga Gerilja, Kisah keluarga manusia dalam tiga hari dan tiga malam (1950), roman pendek Bukan Pasar Malam (1951), serta romanDi Tepi Kali Bekasi (1951).
Ia menuliskan kisah hidupnya sendiri untuk dapat menghidupi adik-adiknya, menyelamatkan perahu kehidupannya dari keterpurukan ekonomi.
Menulis Untuk Korban
“Revolusi menghendaki segala-galanya – menghendaki korban yang dipilihnya sendiri. Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku korbankan meskipun sekarang jiwa dan raganya terpaksa dikorbankan. Namun, itulah paksaan yang dipaksanya pada dirinya sendiri untuk menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang dipijak ini tak perlu lagi melakukan seperti itu untuk meneruskan kehidupan mereka bahkan boleh terus menikmati kehidupan mereka dengan penuh rasa kemerdekaan.”
Pramoedya memiliki sebuah ideologi yang dipegang erat. Dalam karya-karyanya, ia selalu menulis tentang korban. Wajar, bila tokoh karyanya selalu adalah korban. Bukan korban penjajahan bangsa asing, tetapi korban bangsanya sendiri, korban sistem yang diskriminatif dan tak manusiawi. Keberpihakan Pramoedya terhadap rakyat jelata dan tertindas tetap terasa pada karyanya.
Pada akhirnya pemikiran Pramoedya menjadi sejalan dengan gaya Realisme Sosialis yang diusung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Realisme sosialis mengakarkan kreativitas pada kenyataan dan Pramoedya mendasarkan kenyataan pada sejarah yang berpihak kepada rakyat kecil.
Karya fiksi Pramoedya yang menyuratkan ideologi itu sendiri sangat sedikit. Salah satunya cerpen “Paman Martil” yang dimuat dalam kumpulan cerpen Jang tak terpadamkan (1965) yang diterbitkan untuk menyambut ulang tahun ke-45 PKI. Dengan kualitas artistik yang jauh lebih baik ketimbang cerpen tersebut, Profesor AA Teeuw juga memasukkan roman Gadis Pantai (1987) sebagai karya sastra ideologi Pramoedya.
Sejarah Sebagai Bahan Menulis
Tampak Pramoedya mengamini betul apa yang ditulis Maxim Gorki bahwa setiap orang harus tahu tentang sejarahnya. Itu sebabnya sebelum menulis karya-karyanya, Pramoedya akan menghabiskan cukup banyak waktu untuk melakukan riset sejarah. Catatan-catatan dari Pulau Buru (1995), Pramoedya menekankan bahwa turba bukanlah turun secara fisik, yaitu turun ke lapisan bawah masyarakat, melainkan turun ke sejarah, ke dasar. Profesor AA Teuw yang meneliti karya Pramoedya juga mengatakan karya-karyanya adalah hasil riset mendalam, berdasarkan bahan kepustakaan dasawarsa pertama abad ini.
Karyanya yang kental bahan-bahan sejarah adalah tetralogi Karya Buru, yang terdiri atas Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah(1985), dan Rumah Kaca (1988). Dengan motif yang sama, kita juga dapat menyebut roman Pramoedya paling panjang, yakni Arus Balik (1995) termasuk dalam karyanya yang kental sejarah.
Napas ideologis realisme sosialis Pram juga terasa dalam karya-karya tersebut. Ideologi penulisannya yang demikian itu membuat Pramoedya disisihkan dari sejarah “resmi” kesusastraan modern Indonesia. Total 22 karyanya, baik fiksi dan non-fiksi dilarang oleh pemerintah. Dirinya pun dipenjarakan dan dibuang tanpa mengalami proses pengadilan.
Tak Melupakan Kemanusiaan Pramoedya
Sejak pembebasannya 14 tahun kemudian, Pramoedya menyadari dirinya adalah korban dari sistem yang korup, manipulatif dan destruktif. Di negerinya sendiri, Pram nyaris tak pernah dihargai, apalagi oleh pemerintah. Yang ada, ketika Pramoedya menjadi penerima Ramon Magsaysay Award pada 1995, cukup banyak penulis yang menolak dan bahkan Mohtar Lubis mengembalikan penghargaan yang pernah diterimanya tahun 1958.
Makam Pramoedya Ananta Toer di Karet Bivak (dok. pribadi)
Makam Pramoedya Ananta Toer di Karet Bivak (dok. pribadi)
Tak heran apabila kemudian Pramoedya terbakar amarah sendirian. Ia merasa frustasi karena keadilan tak kunjung bisa ia rasakan. Sampai akhir hayatnya, ia masih menjadi korban. Rumahnya yang dirampas tentara tak kunjung dikembalikan, lalu ia tak bisa lagi menulis seluruh karyanya yang dibakar oleh Angkatan Darat, seperti Panggil Aku Kartini 2 dan lebih parah lagi, 22 karya pemikirannya belum dicabut larangannya oleh Kejaksaan Agung.
Dalam penulisan s The New York Times yang pada 1 Mei 2006 menobatkannya sebagai sastrawan yang paling banyak berkorban untuk mendidik bangsanya.
sejarah kesusastraan Indonesia, generasi muda mencoba mengembalikan nama-nama mereka yang berada segaris ideologi dengan Pramoedya Ananta Toer untuk kembali diingat oleh masyarakat. Bukan karena keberpihakan, tetapi karena ingin mengembalikan haknya untuk diingat sebagai bagian dari manusia Indonesia. Generasi ini seolah setuju dengan
Masih banyak yang harus diupayakan agar Pramoedya kembali menjadi manusia, bukan lagi hantu, momok yang perlu ditakuti. Mengenang kematiannya sebagai peristiwa penting adalah satu jalan untuk mengarah pada upaya-upaya lain untuk mengembalikan hak-haknya sebagai manusia Indonesia.

9 juli 2013

Sebutir Kata Mutiara Pramoedya Ananta Toer


Menulis adalah sebuah keberanian
Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, 
yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.

Barang siapa mempunyai sumbangan pada kemanusian dia tetap terhormat sepanjang jaman, 
bukan kehormatan sementara. 
Mungkin orang itu tidak mendapatkan sesuatu sukses dalam hidupnya, 
mungkin dia tidak mempunyai sahabat, mungkin tak mempunyai kekuasaan barang secuwil pun. 
Namun umat manusia akan menghormati karena jasa-jasanya.

Berterima kasihlah pada segala yang memberi kehidupan.

Orang boleh pandai setinggi langit, 
tapi selama ia tidak menulis, 
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. 
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Kalian boleh maju dalam pelajaran, 
mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, 
tapi tanpa mencintai sastra, 
kalian tinggal hanya hewan yang pandai.

Dalam hidup kita, 
cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. 
Kalau tidak punya itu,
Lantas apa harga hidup kita ini?

Barangsiapa muncul di atas masyarakatnya, 
dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya-masyarakat yang menaikkannya, 
atau yang membiarkannya naik
Pohon tinggi dapat banyak angin? 
Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi
Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan

9 juli 2013

Kutipan dari Jejak Langkah-nya Pramoedya Ananta Toer

"Dan modern adalah juga kesunyian anak yatim piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya." (Mingke, hal. 2)

"Lakukan segala keperluan tanpa pertolongan. Karena: barangsiapa memerlukan pertolongan, dia tempatkan diri dalam takluk tergantung-gantung pada orang lain. Bebas! Sepenuh bebas. Hanya kepentingan-kepentingan yang bakal mengikatkan diri pada sesuatu." (ibid)


"... kemakmuran dan kebahagiaan dari desa-desa, dieksport. Dan import juga: barang-barang pelupa, kemakmuran dan kebahagiaan yang sudah tergadai." (Mingke, hal. 11)

"Tak mau ikut dengan kemajuan? akan ikut terinjak-injak jadi kasut." (ibid)

"Ilmu-pengetahuan, Tuan-tuan, betapapun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia--dia pun tak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsa." (Van Kollewijn, hal. 41)

"Seorang ibu selalu mengampuni anaknya, biarpun anak itu seperti kau, yang baru pandai membangun kesengsaraan untuk dirinya sendiri." (Bunda, hal. 76)

"Mengapa kau pandangi aku sampai begitu?"
"Bukan salahku" kataku.
"Aku yang salah?"
"Ya. Kau yang salah. Kau terlalu menarik."
(Percakapan Mingke dengan Ang San Mei, hal. 112)

"Kasih-sayang orangtua kadang justru yang tidak patut untuk dilawan demi kemengangan kebebasan (itu). Apakah arti kebebasan kalau karenanya membikin hati orangtua yang mengasih dan menyayang menderita? Kan itu hanya perpindahan penderitaan belaka?" (Gadis Jepara, hal. 145)

"..., yang ada disekeliling adalah penderitaan karena kebodohan, ketidak-tahuan; di atasnya: kepandaian, ilmu-pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan yang justru membikin dan mempertahankan penderitaan.
...
..., penderitaan bukan sebagai gagasan, hanya sebagai akibat. Bukan berarti, kesukaan tidak ada. Di mana ada derita di sana juga ada suka. Tetapi penderitaan di sini adalah suatu ragangan, tulang-belulang kehidupan. memang orang tidak selalu merasakannya bila tidak pernah mengetahuinya. Begitu mengerti orang akan lebih menderita lagi karena tidak bisa berbuat sesuatu. Karena itu orang Belanda sering membisikkan: Berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti." (Gadis Jepara, hal 146-157)

"Sekali lagi terkesan olehku gadis Jepara itu sedang bergumul dengan perasaan dan pikirannya sendiri--tragedi manusia modern yang tak mendapat jalan keluar dari libatan pikiran sendiri. Seribu dewa pun takkan mampu melepaskan dirinya daripadanya. Hanya diri sendiri yang bisa mengusahakan, kata sebuah tulisan. Para dewa tidak sepemurah di jaman nenek-moyang. Jaman modern telah membikin manusia mengambil tanggung-jawab atas dirinya sendiri. Merenggutkannya dari tangan para dewa. Tak ada lagi Deux ex machina seperti dalam dongengan nenek-moyang, kata tulisan itu lagi." (Mingke, hal. 151-152)

"Nenek moyang mereka mengajarkan: tak ada satria lahir, tumbuh dan perkasa tanpa ujian." (Mingke, hal. 201)

"Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji?" (Mingke, hal. 213)

"Nampaknya lain yang kupersiapkan dalam batin, lain pula yang harus terjadi." (Mingke, hal. 227)

"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, terngiang kembali kata-kata Mei, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan tentangnya." (Mingke, hal. 262-263)

"Tanpa pernah punya perbandingan. Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan." (Mingke, hal. 264-265)

"Dalam buku harian kupaterikan ini: Siapa dapat ramalkan bagaimana bakal jadinya bayi? Jadi nabi atau bajingan, atau sekedar jadi tambahan isi dunia, polos, tanpa apa-apa." (Mingke, hal. 296)

"Dengan meniru atasan orang semakin mengurangi tanggung jawab pribadi, yang memang sudah kurang dari hanya pas-pasan." (ibid)

"Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lian mengertikannya. Karena, kata orang, dia adalah sumber segala-galanya..." (Mingke, hal. 320)

"Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai, setengah pekerjaan seudah selesai, kata pepatah." (Van Heutsz, hal. 343)

"Dan memang pembesar butuh pendengar. Setiap pembesar begitu. Merasa berbobot kalau sudah ngomong, lebih berbobot lagi kalau tak mendengarkan orang lain." (Mingke, hal, 344)

"Mana ada orang yang bisa tumbuh tanpa bantuan?" (Mngke, hal. 350)

"Hanya ranting-ranting tua bisa patah. Batang muda tetap meliuk kena terjang badai. karena hanya sipandir melawannya." (Sanikem Marais, hal. 380)

"Sudah kulihat dunia sebagaimana aku ingn lihat. Sudah lakukan apa yang ingin aku lakukan." (Ang San Mei, hal. 405)

"Panjang kenikmatan manusia tidak melebihi limabelas sentimeter." (441)

"Sayang sekali, ada kesukaan padaku untuk melenyapkan diri dalam segala, Tuan. Bukan, bukan kesukaan. Mungkin lebih tepat dinamai kecenderungan." (Hadji Moeloek, hal. 442-443)

"Memang semakin jauh orang dari jabatan negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak terjangnya, karena memang pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayang-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya." (Douwager, hal. 465)

"Setiap pandangan dan pendapat baru selalu memanggil lawan. Ia dilahirkan karena perlawanan terhadap yang sudah ada dengan setumpuk kekurangannya." (Douwager, hal. 468-469)

"Semua cerita yang tidak tentang kehidupan bebas--membosankan." (Hadji Moeloek, hal. 473)

"Bagi yang kehausan di gurun pasir setitik embun kotor pun akan diraih, bahkan fatamorgana pun akan diparani." (Mingke, hal. 495)

"Tak ada yang lebih mengetahui daripada Tuhan. Seseorang melakukan sesuatu sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan dan kebutuhannya. Adapun hubungan manusia dengan Tuhan, hanya Tuhan saja yang tahu--Tuhan dan manusia yang berkepentingan. Orang lain tidak akan tahu, sekalipun dia ayah atau ibunya sendiri. Yang tampaknya bersembahyang belum tentu ada hubungan dengan Tuhan atau sebaliknya, yang nampaknya tidak bersembahyang mungkin justru mempunyai hubungan mesra dengan-Nya." (510)

"Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang di gurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samodra takkan menggunakan onta." (Mingke, hal. 511)

"Perdagangan adalah jiwa negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering-kerontang seperti Arabia, kalau perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan subur, kalau perdagangannya kembang-kempis, semua ikut kembang-kempis, bangsanya tetap miskin. Negeri-negeri kecil menjadi besar karena perdagangannya dan negeri besar menjadi kecil karena menciut perdagangannya." (Sjeh Ahmad Badjened, hal. 519-520)

"Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang yang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, karena memang akalnya mati. Lihat saja diriku ini. Jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi S.A.W pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ihwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh." (Thamrin Mohammad Thabrie, hal. 520)

"Siapa bisa membebaskan diri dari perdagangan? Tak seorang pun! sejak dalam kandungan sampai tua renta menghadapi maut orang ikut serta dalam lalu lintas perdangangan. Dari popok sampai kafan." (Mingke, hal. 521)

"Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama tidak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan." (Mingke, hal. 526-527)

"Tetapi di jaman modern ini, ada banyak cara dan alat untuk membikin orang suka berjual-beli, di negeri-negeri paling maju sekali pun, di Amerika Serikat. Iklan-iklan raksasa seperti air laut bergelombang-gelombang membentuk kesan tanpa henti, orang ditodong, diancam, kalau tidak membeli dan menggunakan produksinya, akan rugi, akan begini, begitu. Lama-kelamaan orang percaya, terpaksa atau dipaksa membeli karena berhasil dibikin limbung. Juga dengan perusahaan-perusahaan pakaian. Orang dipaksa-paksa untuk membeli dan menggunakannya. Kalau tidak, orang dianggap ketinggalan jaman." (Douwager, hal. 527)

"Jangan kehilangan keseimbangan! Berseru-seru aku pada diri sendiri, memperingatkan. Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik kebesaran adalah kehancuran. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah--jalan ke arah kelestarian." (Mingke, hal. 574-575)

576

579

581

"Tidak semua usaha berhasil. Yang nampaknya berhasil pun belum tentu sebagaimana aku duga. Hati manusia bermuka sejuta." (Mingke, hal. 583)

"Dan kecerdasan untuk seorang wanita adalah kecantikan tambahan." (Mingke, hal. 619)

628

"Sekolah-sekolah tak pernah mengajarkan: beginilah macamnya dunia manuisa." (685)

702