my Foto

LEBIH BAIK DI ASINGKAN, DARIPADA DIAM DALAM KEMUNAFIKAN

Rabu, 24 April 2013

istishab

C.      ADAT ATAU ‘URF
1.   PENGERTIAN ‘ADAT DAN ‘URF
Kata urf berasal dari kata arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain.
Sedangkan kata ‘adat berasal dari bahasa arab dari akar kata : ‘ada, ya’udu mengandung arti takror (perulangan). Karena itu, sesuatu yang dilakukan satu kali, dua kali belum dikatakan sebagai adat.
Kata urf pengertiannya tidak dilihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah lama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.[14]
Sedangkan perbedaan antara kata adat dan urf adalah kata adat menunjukkan suatu perbuatan yang sudah dikenal dan diakui oleh orang banyak tapi tidak ada penilaian baik dan buruk atas perbuatan tersebut. sedangkan urf adalah suatu perbuatan yang dikenal dan diakui oleh masyarat serta ada penilain baik pada perbuatan tersebut.
2.    MACAM-MACAM ‘ADAT
Dari materi yang biasa dilakukan  :
a.         Urf qouli
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata ucapan. Misalnya waladun secara etimologi mempunyai arti anak yang digunakan untuk anak laki-laki. Akan kata ini juga digunakan untuk anak perempuan dalam masalah waris.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, kata walad digunakan hanya untuk anak laki-laki.
Pengggunaan kata “lahmn” tidak hanya untuk daging sapi, unta akan tetapi segala jenis daging termasuk daging ikan.
uqèdur Ï%©!$# t¤y tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wƒÌsÛ (#qã_̍÷tGó¡n@ur çm÷YÏB ZpuŠù=Ïm $ygtRqÝ¡t6ù=s? ts?ur šù=àÿø9$# tÅz#uqtB ÏmŠÏù (#qäótFö7tFÏ9ur ÆÏB ¾Ï&Î#ôÒsù öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±s? ÇÊÍÈ  
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (An-Nahl : 14)
b.        Urf fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku pada kebiasaan. Umpamanya kebiasaan jual-beli tanpa menggunakan ucapan transaksi (aqad). Kebiasaaam mengambil rokok milik teman tanpa adanya ucapan meminta dan member tidak dianggap mencuri.
Dari segi ruang lingkup penggunaannya :
a.         Urf umum
Yaitu kebiasaan yang berlaku dimana-mana, hamper diseluruh penjuru dunia  tanpa memandang Negara, bangsa dan agama. Misalnya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan dan menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.
b.         Urf khusus
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang didaerah tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disembarang tempat dan waktu. Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku batak. Selain itu ada juga penggunaan kata budak di daerah tertentu menunjukkan arti anak-anak bukan hamba sahaya.
Dari segi penilaian baik dan buruk
a.         Urf shahih
Adalah kebiasan yang berlaku  di tengah-tngah masyarakat  yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalanya , dalam masa pertunangan laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.[15]
b.         Urf fasid
Adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
3.    PENYERAPAN ‘ADAT DALAM HUKUM
a.         Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan.
b.         Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau madarat) namun dalam pelaksanaannya tidak dipandang baik oleh islam.
c.         Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat dan tidak mengandung unsur manfaat.
d.        Adat atau urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam syara’.
4.    PERBENTURAN DALAM ‘URF
a.         Perbenturan antara urf dengan syara
Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara syara’ dan urf adalah perbedaan dari segi penggunaan suatu ucapan ditinjau dari segi urf dan syara’.
1)      Bila perbenturan urf dan syara’ tidak berkaitan dengan materi hokum maka didahulukan urf.
2)      Bila perbenturan urf dan syara’ dalam hal yang berkaitan dengan materi hokum maka didahulukan syara’.
b.         Perbedaan antara urf qouli dengan penggunaan kata dalam pengertian bahasa.
c.         Perbenturan urf dengan umum Nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.
Contoh yang popular untuk menunjukkan perbedaan antara urf dengan nash yang umum adalah akan jual beli salam. Umum Nash melarang jual beli barang yang tidak ada ditangan sewaktu berlangsung akad jual beli. Karena itu , umum nash melarang jual beli salam yang tidak ada barang ditangan pada waktu berlangsungnya akad. Namun karena jual beli dalam bentuk salam ini telah menjadi urf yang umum berlaku dimana saja maka dalam hal ini urf tersebut dikuatkan.
d.        Perbenturan urf dengan qiyas
Hamper semua ulama berpendapat untuk mendahulukan urf atas qiyas. Karena dalil untuk menggunakan urf adalah suatu kebutuhan dan hajat orang banyak sehingga ia harus didahulukan atas qiyas.
Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat. Imam Hanafi pada awalnya mengharamkan jual beli lebah dan ulat sutra dengan menggunakan dalil qiyas yaitu mengqiyaskannya kepada kodok dengan alas an sama-sama hama tanah. Namun kemudian terlihat bahwa kedua jenis serangga ini mempunyai manfaat dan telah terbiasa untuk memeliharanya (sehingga telah menjadi urf). Atas dasar ini, muridnya yaitu Muhammad ibn Hasan Al-Syaibani membiolehkan jual beli ulat sutra dan lebah berdasarkan urf.
5.    KEDUDUKAN ‘URF DALAM MENETAPKAN HUKUM
Kehujahan uraf atau adat dalam istinbath hokum , hamper selalu dibicarakan urf atau adat secara umum. Namun sudah dijelaskan bahwa urf yang sudah diambil oleh syara’ dan ditolak oleh syara’ tidak perlu diperbincangkan lagi kehujahannya.
D.    ISTISHAB
1.    Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya. Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan hukumnya pada suatu waktu maka ia tetap tidak ada hukumnya pada masa sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang menetapkan hukumnya. [16]
a.    Menurut Al-Ghazali
Memberikan definisi istishab dengan istilah itu berpegang pada dalil akar atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian dengan cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. [17]
b.    Menurut Abd. Al-Wahab Khallaf
Dalil syara’ yang berakhir yang digunakan pegangan oleh mujtahid untuk mengetahui hukuman dari sesuatu yang disodorkan padanya.
c.    Menurut al-Shaukani
Bahwasanya apa yang telah ada pada masa yang lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada dimasa sekarang dan pada masa yang akan datang.
d.   Menurut Wahba Al-Zuhaili
Suatu hukum terhadap penetapan suatu perkara atau meniadakannya pada saat sekarang atau yang akan datang berlandaskan atas ketetapan atau peniadaan hukum pada masa yang lalu karena tidak ada dalil yang merubahnya.[18]
Apabila seseorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash dalam al qur’an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah :
“sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Dan hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu yang ada di bumi, seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang asli.
Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya, maka ia menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan (ibahah) adalah asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya.
2.      Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Islam
Adapun penetapan dalil untuk istishab ini ditetapkan melalui dua dalil, yaitu:
a.    Dalil syara’, berdasarkan penelitian terhadap hokum syara’ bahwa hokum syara’ itu tetap berlaku karena berdasar dalil yang menetapkan. Contoh: setiap sesuatu yang menimbulkan mabuk ditetapkan oleh syara’ menjadi haram, kecuali apabila telah berubah sifatnya dan telah hilang sifat yang memabukkan.
b.    Dalil akal, bahwa permulaan asal sesuatu itu adalah menguatkan hukumnya, contoh tidak adanya tuduhan terhadap seseorang itu halal darahnya karena murtad kecuali apabila sudah ada dalil yang menyatakan kemurtadannya, karena yang asal adalah haram darahnya.[19]
3.      Macam-Macam Istishab
a.       Isitishab yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula ketetapannya pada syara’.
Contoh: wajib sembahyang yang enam waktu sehari semalam, diterima oleh akal atas tidak adanya dan tidak ada pula dasar dalam agama yang menetapkan wajibnya.
b.    Istishab yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara takhsis ataupun secara nasakh.
Contoh: perkawinan tetap sah selama tidak ada yang mengubahnya, dapat pula batal apabila ada yang mentakhsiskan atau menasakhkannya seperti thalaq, fasakh dan khulu’ atau disebabkan meninggalnya seseorang.
c.       Istishab dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
Contoh: seorang membeli mobil, mobil itu tetap menjadi hak miliknya selamanya, selama tidak ada pemindahan hak miliknya kepada orang lain. Jadi dia tetap mempunyai hak milik terhadap mobil itu, karena ia membelinya.
d.   Istishab menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan.
Contoh: seorang yang sembahyang dengan bertayammum, apabila dia memperoleh air tidak membatalkan sembahyang atau tidak perlu mengulang sembvahyangnya lagi.[20]
4.      Pendapat Ulama’ Tentang Istishab
a.    Menurut kebanyakan mutakallimin, bahwa istishab itu bukan merupakan dasar hokum Islam, karena ketetapan hukumpada masa yang pertama membutuhkan dalil, demikian juga pada masa yang kedua.
b.    Pendapat jumhur Hanafiah yang akhir, bahwa istishab itu merupakan hujjah untuk menolak atau meniadakan bukan untuk menetapkan atau menguatkan, mereka mengatakan bahwa, istishab itu adalah suatu ulasan untuk menetapkan sesuatu yang telah ada atas sesuatu yang ada, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada.
c.    Pendapat jumhur Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah dan ahli dhohir, bahwa istishab adalah dasar hokum islam secara mutlak untuk menetapkan hokum yang telah tetap sampai datang dalil atas perubahannya, maka istishab itu patut untuk menyatakan/menguatkan sesuatu sebagaimana juga patut untuk menolaknya.[21]
5.      Kehujjahan Istishab
Sebagai dikemukakan oleh Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa bahawa ulama dibagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan istishab. ulama yang menerimanya dan ulama yang menolaknya. ulama yang menerima istishab sebagai hujjah berargumen bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara mereka. ia dapat dijadikan dasar untuk menentukan hokum tersebut selama tidak ada dalil yang merubahnya. rujukan tekstualnya adalah al-Qur’an (QS. Al-Baqarah ayat 29). ulama yang menerima istishab dapat dibedakan menjadi tiga:
a)         Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagai ulama Syafi’iyah, dan Hanafiah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan hujjah Syar’iyyat ketika tidak ada dalil dari al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang merubahnya.
b)        Sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang; ia sekedar mengetahui hukum masa lalu sedangkan untuk menentukan hukumnya sekarang ini. ia memerlukan dalil.
c)         Kebanyakan ulama hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah untuk menentukan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain. ulama ini menolak istishab akal.
Sedangkan ulama yang menolak kehujjahan istishab berargumen bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari “Syari”. Dalil syar’iy terdapat dalam nash al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. 
Kalau tidak ditemukan sesuatu perbuatan atau perjanjian baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah atau dalil sayara’ yang lainya maka perjanjian atau perbuatan itu dianggap mubah berdasarkan asal segala sesuatu itu mubah selama belum ada dalil yang menunjukkan hukumnya berubah. umpamanya hukum daging binatang, benda, tumbuh-tumbuhan; makanan atau perbuatan yang tidak diterangkan hukumnya oleh syara’ maka ditetapkan mubah karena mengingat asal segala sesuatu itu mubah.
Istishab dijadikan salah satu dalil syara’ menurut mazhab Syafi’i. dan diantara contoh hukum yang bersumber dari istishab umpamanya si A telah diketahui dengan pasti menikah dengan si B maka kedua orang tadi masih dianggap sebagai suami istri selama tidak ditemukan bahwa mereka berdua telah bercerai.
Seorang yang sudah berwudhu kemudian timbul was-was bahwa ia terasa kentut, maka ditetapkan bahwa ia masih dalam keadaan suci selama tidak ditemukan bukti bahwa ia batal seperti bunyi kentut atau bau kentutnya. demikianlah setiap yang sudah diyakini adanya dianggap akan tetap ada sampai ada bukti yang menunjukkan perubahnya dan sebaliknya yang sudah diyakini tidak ada, ditetapkan tidak ada sampai ada bukti yang menunjukkan adanya. 
Sedangkan Kalangan hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa istishab ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun ia masuh dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya masih dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli waris yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan balum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih hidup. Jika terbukti ia telah wafat daan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan warisnya maka kadar pembagiannya yang disimpan dibagi antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.      Ihtisan
Dalam bahasa arab ihtisan berarti menganggap sesuatu itu baik, menurut istilah adalah meralihkan pemikian seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang samara tau dari hokum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
a.       Macam-macam ihtihsan.
c.       Dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai yaitu:
a)      Dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy.
b)      Dari ketentuan nash yang umum menuju hokum yang khusus.
c)      Dari hkum yang umum kepada hukum pengecualian.
d.      Segi sandaran ihtisan yaitu:
4)   Dasar yang berupa khiyas
5)   Dasar yang berupa nash
6)    Dasar yang berupa
2.      Maslahah,
Secara etimologi  sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
a.       Dalam maslahah mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut:
d.   Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan berubah-ubah
e.    Tidak berlawanan dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah terkenal (tidak bertentangan dengan nash)
f.     Maslahah ada karena kepentinagan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
3.      Urf
adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu
a.    Macam-Macam ‘Adat
Dari materi yang biasa dilakukan  :
c.         Urf qouli
d.        Urf fi’li
·         Dari segi ruang lingkup penggunaannya :
Ø  Urf umum
Ø  Urf khusus
·         Dari segi penilaian baik dan buruk
c.         Urf shahih
d.        Urf fasid
4.      Istishab
menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
a.       Macam-Macam Istishab
1)      Isitishab yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula ketetapannya pada syara’.
2)      Istishab yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara takhsis ataupun secara nasakh.
3)      Istishab dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
4)      Istishab menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan
 
(http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2012/10/ihtisan-maslahah-mursalah-urf-istishab.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar