Yogyakarta,10 maret 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penbahasan
1.4 Manfaat Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Istishab
2.2 Macam-macam Istishab
2.3 Kehujjahan Istishab
2.4 Akibat Hukum Perbedaan Kehujjahan Istishab
2.5 kaidah-kaidah istishab
2.6 Pengertian Urf
2.7 Macam-macam urf
2.8 Syarat-syarat Urf
2.9 Kehujjahan urf
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting, untuk
lebih memahami syariat islam dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Dengan belajar Ushul Fiqh kita dapat mengetahui
kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syariat islam, cara memahami suatu
dalil dan penerapanya dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu kita harus memahami terlebih dahulu sumber dan
dalil-dalil hukum islam, serta metode yang kita gunakan dalam mengkaji
Ushul Fiqh. Hal-hal tersebut wajib kita ketahui sebagai langkah awal
dalam memahami Ushul Fiqh, sehingga kita dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari tidak hanya sekedar teori dan wacana.
Berdasarkan kurikulum dosen pengampu yang membagi tugas kepada
mahasiswa/i untuk membuat makalah maka kelompok kami mendapatkan tugas
tentang urf dan istishab, semoga dengan adanya makalah kami ini dapat
membantu mahasiswa/i memahami urf dan istishab.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Istishab ?
2. Apa Macam-macam Istishab ?
3. Apa Kehujjahan Istishab ?
4. Apa Akibat Hukum Perbedaan Kehujjahan Istishab ?
5. Apa kaidah-kaidah istishab ?
6. Apa Pengertian Urf ?
7. Apa Macam-macam urf ?
8. Apa Syarat-syarat Urf ?
9. Apa Kehujjahan urf ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pengertian Istishab
2. Untuk mengetahui Macam-macam Istishab
3. Untuk mengetahui Kehujjahan Istishab
4. Untuk mengetahui Akibat Hukum Perbedaan Kehujjahan Istishab
5. Untuk mengetahui kaidah-kaidah istishab
6. Untuk mengetahui Pengertian Urf
7. Untuk mengetahui Macam-macam urf
8. Untuk mengetahui Syarat-syarat Urf
9. Untuk mengetahui Kehujjahan urf
1.4 Manfaat Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian Istishab
2. Mengetahui Macam-macam Istishab
3. Mengetahui Kehujjahan Istishab
4. Mengetahui Akibat Hukum Perbedaan Kehujjahan Istishab
5. Mengetahui kaidah-kaidah istishab
6. Mengetahui Pengertian Urf
7. Mengetahui Macam-macam urf
8. Mengetahui Syarat-syarat Urf
9. Mengetahui Kehujjahan urf
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Istishab
Istishab
menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh, ia adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu
berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas
perubahan keadaan tersebut. Atau ia adalah menetapkan hukum yang telah
tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada
dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
As syaukani dalam kitabnya irsyadul Fukhul mendefinisikan istishab sebagai berikut
“istishab
adalah bahwasanya apa yang telah ada pada masa yang lalu, maka menurut
hukum asal dipandang masih ada dimasa sekarang dan pada masa yang akan
datang”.
Ibnu qayyim berkata :
‘istishab adalah terus menerus enetapkan yang telah ada dan meniadakn apa yang tadinya tidaka ada”
Apabila seseorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian
atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash dalam al qur’an atau
sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan
hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau
pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah :
“sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Dan hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu yang ada
di bumi, seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang
menunjukkan perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang
asli.
Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda
padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau
suatu amal perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya,
maka ia menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya
kebolehan (ibahah) adalah asalnya , padahal tidak ada dalil yang
menunjukkan terhadap perubahannya.
Sesungguhnya asal mula segala sesuatu itu boleh, karena Allah SWT. Telah berfirman dalam kitabnya yang mulia :
“Dia lah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu...” (Al-Baqarah : 29)
Dan
dalam sejumlah ayat, Allah menjelaskan bahwasanya Dia telah menaklukan
apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi untuk manusia. Sesuatu
yang ada dibumi ini tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukkan
bagi mereka kecuali apabila sesuatu itu diperbolehkan untuk mereka.
Karena kalau sekiranya ia dilarang atas mereka, maka ia tidaklah
diperuntukkan kepada mereka.
2.2 Macam-macam Istishab
Istishab dari segi perkara yang ditetapkan hukumnya, ada beberapa macam, yaitu :
1. Istishab hukum asal bagi sesuatu, yakni boleh.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum asal sesuatu adalah boleh. Dalil mereka adalah :
“Dialah allah yang menciptakan apa yang dapat dibumi ini semuanya, untuk akmu (manusia)”.(Al-Baqarah:29)
“Dan
dia menundukkan untukmu apa yanga ada dilangit dan apa saja yang ada
dibumi semuanya, sebagai rahmat daripada-Nya”.(Al-Jatsiyah :13)
Jika
seluruh yang ada dibumi ini diciptakan dan apa yang ada dilangit
ditundukkan untuk manusia, maka hal itu menunjukkan bolehnya ia dikelola
manusia berdasrakanhukum asal. Maka jika seandainya diharamkan, tentu
sesuatu tersebut tidak diciptakan dan ditundukkan untuk manusia,
sebagaimana sebagia ulama yang mengambil dalil dari firman Allah :
“katakanlah
: tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya
itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah...”(Al-an’am : 145)
Maka
mafhum haser (pembatasan) menunjukkan bahwa tidak adanya keharaman
dalam berbagai dalil menunjukkan tidak adanya keharaman tersebut. Tetapi
sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut memberitahukan bahwa
kebolehan sesuatu sebelum ditetapkan syri’at adalah tergantung pada
penilaian akal. Sebab pada akal lah adanya petunjuk yang menunjukkan
kehalalan sesuatu, karena tidak adanya ayat yang mengharamkannay,
kecuali hal-hal yang disebutkan dalam ayat-ayat tadi.
Sebagian mereka ada yang mengambil dalil dari firman Allah :
“katakanlah
: Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkannya untuk hamba-hamba Nya (siapakah pula yang mengharamkan)
rezki yang baik-baik?”(Al-a’raf : 32)
Ayat
ini sangat mengingkari oran-orang yang mengharamkan hal-hal tersebut
dalam ayat. Jika tidak ada larangan maka menujukkan bolehnya.
Ibnu Hazim mengambil dalil atas hukum asal sesuatu adalah boleh, dari firman Allah :
“....dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”.(Al-baqarah : 36)
Tetapi ulama lain berpendapat bahwa hukum asal sesuatu adalah haram berdasarkan firman Allah :
“Tidakkah kamu tahu bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah ?”
(Al-Baqarah : 107)
Maka
apa saja yang ada dibumi dan dilangit adalah kepunyaan Allah. Oleh
karena itu, tidak boleh dikelola kecuali mendapat izin dari Allah.
Tetapi sebagian ulama lainnya berpendapat dibekukan saja hukumnaya,
karena adanay adali yang saling bertentangan satu dengan yang lain dan
tidak bisa ditarjih. Ada lagi yang berpendapat bahwa hukum asal sesuatu
adalah boleh kecuali kemaluan perempuan. Sebab pada asalnya hukum
kemalua perempuan adalah haram.
Asy
syaukani berkata : “jama’ah fuqaha : jama’ah ulama syafi”yah, muhammad
bin abdul halim, dan sebagian ulama mutaakhirrin yang menyadarkan
pendapatnya kepada jumhur menyatakan, bahwa hukum asal sesuatu yang pada
adanya tidak ada dalil yang mengkhususkan atau mengkhususkan macamnya
adalah boleh jumhur berpendapat sesuatu yang tidak bisa diketahui
hukumnyakecuali dg dalil yang mengkhususkannya, atau mengkhususkan
macamnya.
Apabila
tidak ada dalil seperti itu, maka hukum asalnya adalah terlarang.
Asy.ari, abu bakar asy syairofi dan sebagian ulama syafi’iyah
berpendapat bahwa hal demikian dibekukan hukumnya. Ar rozi menjelaskan,
bahwa hukum asal ttg barang yang dapat dimanfaatkan adalah dengan izin
Allah. Sedang barang barang kecil adalah terlarang.
2. Istishab bara’atul ashliyah
Maksudnya,
pada dasarnya tidak ada hukum seperti lepasnya seseorang dari tuntutan
syari’at, sehingga ada dalil yang membebaninya. Maka anak yang masih
kecil, belum baligh terlepas dari beban syari’at, sehingga jelas
kedewasaannya
Orang
yang dituduhpunya hutang, maka ia ditetapkan tidak punya hutang,
berdasarkan kaidah bahwa pada asalnya ia bebas dari beban, sehingga
terbukti ia berhutang. Karenanaya, kewajiban membuktikan berada dipihak
penggugat atau penuduh.
Salah
seorang serikat, apabila mengaku bahwa harta serikatnya tidak berlaba,
maka diterimalah pengakuannya itu, beradasarkan istishab, karena pada
asalnya laba itu tidak ada, sampai serikat lainnya mampu membuktikan
bahwa harta tersebut berlaba.
3. Istishab
sesuatu yang ditunjuki oleh akal atau syara atas tetapnay. Apabila
sesorang dalam keadaan suci, maka ia dihukum tetap suci, sehingga ada
dalil yang menunjukkan atas batalnya.
2.3 Kehujjahan Istishab
Dalam masalah penetapan hukum Istishab merupakan akhir dalil Syar’i
yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetehui hukum
sesuatu yang dihadapkan kepadanya.Maka para ahlili Ushul Fiqih berkata:
“Sesungguhnya Istishab merupakan akhhir tempat beredaenya fatwa. Ia
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap
baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya.”
Seseorang
yang mengetahui terdapat orang seseorang yang hidup pada saat itu, maka
ia menetapkan kehidupan dan mendasarkan berbagai tindakanya atas
kehidupan ini, sehingga ada dalil yang menunjukan terhadap kematiannya.
Bahwa ketetapan hukum syar’i memperlihatkan bahwa Allah menetapkan
hukum berdasarkan ketetapan hukum yang telah ada sehingga terjadi
perubahan. Seperti keharaman khamer, sehingga ia menjadi cuka, kehalalan
perasan anggur sehingga menjadi khamer, kehalalan pergaulan suami
isteri sehingga akad perkawinan terlepas, dan sebagainya. Ini semua
adalah makna daripada istishab. Oleh karena itu, istishab merupakan
dalil syar’i.
Golongan hanafiyah dan malikiyah mengakui kehujjahan istishab ini
terbatas dalam hal menyanggah, bukan untuk menetapkan hak yang baru.
Maka ia dapat menetapkan hak-hak yang tetap saja. Tetapi ia tidak bisa
menetapkan hak baru yang sebelumnya tidak ada padanya.
Hal demikian itu disebabkan karena istishab bukanlah dalil yang berdiri
sendiri. Tetapi ia dipegangi berdasarkan hukum asal yang telah ada,
disamping tidak ada dalil yang merubahnya
Sementara mereka yang tidak mengakui istishab mengajukan argumentasi
bahwa hipotesa mengenai dalil dalil yang menunjukkan kesinambungan
berlakunya masalah tersebut adalah ditolak. Sebab, kesinambungan hukum
masalah tersebut tidak berdasarkan dalil. Jadi, tak ada dalil yang
menguatkan tetap berlakunya hukum tersebut. Sesuatu yang tidak ada
dalilnya harus ditolak dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
2.4 Akibat Hukum Perbedaan Kehujjahan Istishab
Menurut
pendapat jumhur para fuqaha sesuatu yang ditetapkan dengan yakin, baik
berupa wudhu ataupun pergaulan suami isteri, tidak bisa digugurkan
kecuali dengan keyakinan juga. Hanya saja sanggahan keras ibnu hazm
terhadap pendapat malikiyah, dimana beliau menarik kesimpulan lebih jauh
dari apa yang dikemukakan oleh golongan malikiyah tersebut, yaitu
membunuh semua orang yang didalamnya disusupi oleh pembunuh tidak
dikenal, atau penzian mukhsan yang tidak diketahui orangnya dengan
pasti. Ini semua bukanlah termasuk pendapat golongan malikiyah, tetapi
merupakan hasil kesimpulan ibnu hazam saja, dari mengikuti cara
berpikirnya ulama malikiyah dalam soal istishab ini.
Dalam
soal ini golongan dhahiriyah yang kebih banyak menyandarkan pendapatnay
kepada istishab. Sebab, mereka telah mempersempit dalam membicarakan
dalil-dalil syari’at dan membatasinya dalam kitab.
Ibnu qayim berkata :
“maka
golongan yang menolak qiyas , karena hendak meutup atas diri mereka ,
akan pintu-pintu tamsil dan pengambilan illat hukum, i’tibar hukum dan
maslahat. Padahal qiyas merupakan pertimbangan dan keadilan yang
diturunkan Allah. Mereka berhujjah kepada keluasan lahir dan istishab.
Mereka membawa keduanya kepuncak hujjah, mereka lebih banyak melapangkan
keduanya. Jika mereka memahami suatu hukum nash, merek menetapkannya
tanpa memikirkan apa yang terjadi dibelakangnya. Dan ketika mereka tidak
memahmi nashnya maka mereka meniadakan hukumnyadan mereka kembali
kepada istishabnya.
2.5 kaidah-kaidah istishab
· ما يثبت با ليقين لا يزول با لشك
“apa yang ditetapkan oelh sesuatu yang meyakinkan, makan tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.”
“apa yang ditetapkan oelh sesuatu yang meyakinkan, makan tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.”
· الل صل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
“asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut keadaan semula sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubah.”
“asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut keadaan semula sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubah.”
· الا صل فى الاشياء الا با حة
“hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh.”
“hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh.”
· الا صل الا نسان البراءة
“yang asal pada manusia itu bebas.”
“yang asal pada manusia itu bebas.”
Sebenarnya
pengakuan terhadap istishab iru sendiri sebagai dalil atas hukum adalah
penetapan secara majazi. Karena sesungguhnya dalil pada hakekatnya
adalah dalil yang menjadi ketetapan hukum yang terdahulu. Istishab tidak
lain adalah menetapkan pengertian dalil tersebut kepada hukumnya. Ulama
hanafiyah menetapkan bahwasanya istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan bukan untuk membuktikan, maksudnya istishab merupakan
hujjah atas tetapnya sesuatu pada keadaan semula, dan menolak sesuatu
yang menentangnya, sehingga ada dalilmyang menetapkan sesuatu yang tidak
tetap. Hal ini dijelaskan oleh sesuatu yang telah mereka tetapkan
berkenaan dengan orang yang mafqud, yaitu orang yang hilang, yang tidak
diketahui tempatnya, tidak pula diketahui hidup maupun matinya. Orang
yang hilang ini dihukumi ssebagai orang yang masih hidup berdasarkan
kelangsungan keadaan yang telah diketahui, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kematiannya.
Istishab
yang menujukkan kehidupannya ini merupakan hujjah untuk menolak dakwaan
kematiannya, pewarisan terhadap hartanya dan pembatalan perjanjian sewa
menyewanya, serta pentalakan istrinya. Akan tetapi ia bukanlah hujjjah
untuk menetapkan hak warisannya dari lainnya, karena kehidupannya yang
tetap berdasarkan istishab adalah kehidupan yang bersifat anggapan,
bukan hakikinya.
2.6 Pengertian Urf
‘Urf
adalah sesuatu yg dikenal oleh khalayak ramai, dimana mereka bisa
mengamalkan, baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan.
Menurut kebanyakan ulama,’Urf dinamakan juga adat.sebab perkara yang
sudah dikenal itu sudah berulang kali dilakukan manusia.
Tetapi sebenarnya adat itu lebih luas daripada ‘Urf.sebab,adat itu
kadang-kadang terdiri dari adat perorangan,bagi orang tertentu.Maka hal
ini tidak bisa dinamakan ‘Urf.
2.7 Macam-macam urf
‘urf bisa dibagi menjadi ‘urf amaly dan ‘urf qauly.
1. ‘urf amaly
Seperti kebiasaan manusia berjual beli sebagian barang dengan cara
ta’athi(saling memberi),tanpa mengucapkan ijab Kabul(serah terima)
memasuki pemandian umum tanpa dibatasi oleh waktu tertentu;serta
kebiasaan mereka mengadakan transaksi jual beli dengan cara pesanan;dan
seperti membayar kontan sebagian dan menunda sebagiannya.
2. ‘urf qauly
Seperti
kebiasaan orang yang mengartikan kata”walad” khusus anak
laki-laki,tidak termasuk anak perempuan; kebiasaan orang yang meyebut
ikan dgn daging;kebiasaan orang mengartikan kata “dabbah” dengan khimar
saja sebagaimana yang terdapat di sebagian Negara irak dan sudan; dan
seperti kebiasaan orang mengartikan kata”ganda” adalah dua kali lipat.
‘urf juga bisa dibagi menjadi ‘urf khas dan ‘urf am.
1. ‘urf
am adalah sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia seluruhnya dalam
setiap masa. Seperti kebiasaan manusia berjual beli secara
ta’athi(saling member tanpa melafazkan ijab-kabul); transaksi dengan
cara pesanan.
2. ‘urf
khas adalah sesuatu yang telah dikenal oleh penduduk suatu daerah
tertentu atau penduduk suatu Negara. Seperti kebiasaan pedagang yang
menetapkan hutang-hutang mereka terhadap pekerjaan pekerjaannya untuk
menuliskannya dalam catatan-catatan khusus yang tidak disaksikan olek
orang lain,dan sebainya di antara kebiasaan yang dilakukan oleh para
pedagang.
2.8 Syarat-syarat Urf
‘Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan
berfatwa, dan para hakim dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai
berikut:
1. ‘urf
harus tidak bertentangan dengan nash yang qath’i. oleh karena itu,tidak
dibenarkan sesuatu yang sudah dikenal orang yang bertentangan dengan
nash qath’I,seperti makan riba. Sebab ia merupakan ‘urf fasid
(bertentangan dengan nash qath’i),yaitu firman allah :
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Apabila
‘urf tersebut bertentangan dengan nash yang umum yang ditetapkan dengan
dalil yang dhonni,baik dalam ketetapan hukumnya maupun penunjukan
dalilnya. Maka dalam hal ini ‘urf berfungsi sebagai takhsis daripada
dalil yang dhonni. Para ahli hukum islam telah menetapkan tentang sahnya
berjual beli dengan cara pesanan karena disandarkan kepada ‘urf yang
mereka anggap sebagai takhsis terhadap hadist yang melarang berjual beli
sesuatu yang tidak ada pada sisi penjual,sebagaimana golongan Hanafiyah
dan Malikiyah yang membolehkan syarat pada setiap syarat yang telah di
berlakukan oleh ‘urf. Mereka mentakhsis dengan ‘urf terhadap apa yang
datang dari Nabi Saw,yakni larangan menjual dan mensyaratkan.kedua
takhsis tersebut adalah dhonni tsubutnya. Golongan Malikiyah telah
menetapkan hukum berdasarkan takhsis ‘urf terhadap keumuman firman
Allah:
Artinya:”para ibu hendaknya menusukan anak-anaknya dua tahun sempurna.”
Mereka
tidak memasukkan ke dalam pengetian ayat tersebut orang yang sudah
biasa tidak menyusukan anak-anak mereka. Yang demikian itu disebabkan
karena dilalah’am terhadap seluruh afrad-afrad(person)nya,menurut
mereka,bersifat dhonniyah.
2. ‘Urf
harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku. Oleh
karena itu tidak dibenarkan ‘urf yang menyamai ‘urf lainnya karena
bertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meningggalkan.
Sebagian ulama telah menyebutkan contohnya,seperti apabila seoarang
bapak membiayai biaya kematian anaknya dari hartanya sendiri; memberikan
perkakas kepada anaknya dari hartanya sendiri. Kemudian anaknya membawa
perkakas tersebut kepada suaminya. Lalu terjadilah persengkataan antara
anak dan bapaknya tentang pemilikan perkakas tadi. Bapaknya mengakui
bahwa perkakas tersebut adalah hanya pinjaman daripadanya.
Sedang
anaknya mengakui bahwa perkakas tersebut pemberian kepadanya,bukan
pinjaman. Tetapi keduanya tidak mempuyai bukti atas pengakuannya itu.
Dalam keadaan demikian yang diterima (dimenangkan) adalh pengakuan pihak
yang selaras dengan ‘urf umumnya,dan dikuatkan dengan sumpahnya. Jika
‘urf yang berlaku memberi petunjuk bahwa perkakas tersebut berarti
pinjaman saja, maka yang dimenangkan adalah pengakuan bapak. Jika
menurut ‘urf berarti sebaliknya,maka yang dimenangkan adalah pengakuan
anaknya.
Jika
‘urf diantara manusia sama. Maksudnya jika menurut sebagian ‘urf
perkakas tersebut di anggap pinjaman,tetapi menurut ‘urf lainnya
dianggap hibah,maka dalam hal ini hukum tidak ditetapkan berdasarkan
‘urf. Oleh karena itu dalam keadaan demikian yang dimenangkan adalah
pengakuan bapaknya,berdasarkan sumpahnya. Sebab dialah yang memberikan.
Maka dia-lah yang lebih mengetahui sifat dari pemberian tersebut,apakah
ia benar-benar pinjaman atau pemberian dialah yang lebih mengetahui.
3. ‘Urf
harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan ‘urf yang datang
kemudian. Oleh karena itu syarat orang yang berwakaf harus dibawakan
kepada ‘urf pada waktu mewakafkan meskipun bertentangan dengan ‘urf yang
datang kemudian. Maka para fuqaha’ berkata : “tidak dibenarkan ‘urf
yang datng kemudian”.
2.9 Kehujjahan urf
Ulama ysng berhujjah dengan ‘Urf dalam membina hukum Islam mengambil dalil dari beberapa dalil berikut ini.
1. Allah berfirman:
Artinya
: ”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’aruf,serta berpalinglah dari orang yang bodoh.”(Al-A’raf : 199)
2. Rasulullah saw bersabda :
Artinya :”Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka baik juga di sisi Allah”.
3. Rasulullah
saw. Telah berkata kepada Hindun,istri Abu sufyan,ketika ia mengadu
kepada beliau tentang kebakhilan suaminya terhadap dirinya yang
berkaitan dengan nafkah. Kata beliau : “Ambillah dari harta Abu Sufyan
sekedar untuk mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang ma’ruf”.
4. Bahwa
berlakunya kebiasaan manusia terhadap suatu perbuatan adalah merupakan
dalil bahwa mengamalkannya adalah maslahat bagi mereka, atau
menghilangkan kesempatan dari mereka. Sedangkan maslahat adalah termasuk
dalil syar’i,sebagaimana menghilangkan kesempitan adalah merupakan
tujuan syari’at.
Islam
datang,kemudian mengakui berbagai kemaslahatan yang sudah menjadi
kebiasaan orang-orang arab.seperti mengakui perlunya kafaah dalam
perkawinan;ashabah dalam soal wilayah dan pewarisan; kewajiban di atas
pembunuh yang sudah berakal,dan sebagainya.
Jumhur fuqaha’ telah banyak berhujjah dengan ‘urf. Dan yang cukup terkenal adalah golongan Hanafiyah dan Malikiyah.
Begitu
juga Asy-Syafi’I yang membina sebagian hukum-hukum madzhabnya yang baru
(qaul jadid)di atas ‘urf penduduk mesir dan dalam madzhab qadimnya
beliau membinanya di atas ‘urf penduduk irak.
Dan telah biasa terdengar perkataan para ulama’ yang menyatakan bahwa:
a. Adat adalah merupakan syari’at yang muhkamat
b. Hukum yang di tetapkan berdasarkan ‘urf adalah seperti hukum yang di tetapkan berdasarkan nash.
c. Apa saja yang bisa dimengerti berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang disyari’atkan menurut syara’.
d. Hakekat itu bisa ditinggalkan berdasarkan dilalah isti’mal (perbuatan adat)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat kita ketahu pengertian Istishab menurut bahasa Arab
ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul
fiqh, ia adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan
sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut. Atau ia adalah menetapkan hukum yang telah tetap pada masa
lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahannya.
Dan
juga pengertian ‘Urf adalah sesuatu yg dikenal oleh khalayak ramai,
dimana mereka bisa mengamalkan, baik dengan perbuatan maupun dengan
perkataan.
Menurut kebanyakan ulama,’Urf dinamakan juga adat.sebab perkara yang
sudah dikenal itu sudah berulang kali dilakukan manusia.
Tetapi sebenarnya adat itu lebih luas daripada ‘Urf.sebab,adat itu
kadang-kadang terdiri dari adat perorangan,bagi orang tertentu.Maka hal
ini tidak bisa dinamakan ‘Urf
(http://makalahp.blogspot.com/2011/10/istishab-dan-urf.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar