Pendahuluan
Konsep Tuhan menurut Ibnu Sina
Allah SWT merupakan eksistensi yang absolut diantara
eksistensi yang nisbi, semua konsep tuhan telah tertera dalam al-qur’an
dari segi metafisik, alam dan asma’ serta sifat. Namun perkembangan,
pengaruh zaman dan peradaban Islam tidak menutup wawasan intelektual
Islam yang aktif dan produktif dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu pra
muslim khususnya filsafat yang didasari atas konsep tuhan.
Tetapi pandangan filosof Yunani terutama gagasan
Aristoteles terhadap tuhan yang abstrak telah di tolelir oleh beberapa
filosof muslim seperti Ibnu Sina bahwasannya alam dan realitasnya
merupakan kehendak tuhan yang menyatu dalam dzat dan sifat.
Sebetulnya, atas dasar apakah Ibnu Sina memfilter
konsep Tuhan menurut Aristoteles yang kemudian ia modifikasi dalam
Islam? Dan benarkah pernyataan tersebut ? Serta bagaimanakan pertanyaan
serta jawaban sebenarnya yang di uraikan oleh para ulama khususnya
Ghozali terhadap pemikirannya? Oleh sebab itu pada pembahasan ini kami
akan menguraikan secara ringkas tentang biografi Ibnu Sina serta
pandaannya terhadap konsep tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani
khususnya Aristoteles serta kritikan ulama dan Ghazali yang menentang
keras konsep ketuhanannya.
Semoga dengan pembahasan ini kita dapat mengambil
konklusi yang bersifat afektif dalam mengkaji pemikiran filosof Islam
terhadap konsep tuhan.
Çááåã
æÇÝÞäÇ ßá ÎíÑ æ ÒÏäÇ ÚáãÇ äÇÝÚÇ ãä åÐÇ ÇáÈÍË . Âãä
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah
ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian
dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari
Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur
suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah
Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan
baik di Bukhara .
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di
Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran
Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang
penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang
filosofi dan pengobatan. Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al -Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (ÇÈæÚáì ÓíäÇ Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : ÃÈæ Úáí ÇáÍÓíä Èä ÚÈÏ Çááå Èä ÓíäÇ
). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan
besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia
dianggap oleh banyak orang sebagai bapak kedokteran disamping itu ia
telah mengarang buku Al-Qanun fi At Tibb yang di terjemahkan
kebahasa latin dan di cetak di Eropa pada tahun 1593, kemudian buku
tersebut di jadikan mata kuliah pokok di universitas-universitas Eropa.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang
guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara
para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual
dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy
yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli
puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan
dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang
memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar
anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah – masalah
metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu
setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia
menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang
membingungkan, dia akan meninggalkan buku – bukunya, mengambil air
wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah
menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada larut malam dia akan
melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan
kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah
akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan,
dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata –
katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai
suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi,
yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Dia
mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori
kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui
perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18
tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun
menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat
memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai
merawat para pasien, menggunakan obat – obat yang sesuai." Kemasyhuran
sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien
tanpa meminta bayaran.
Disamping itu pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan
untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan
Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke
perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika Ibnu
Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju
keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of
Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana
vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil
bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu
tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan
Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat – bakatnya. Shams
al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan
sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung,
dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang
memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang
sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu
dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri
dimana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi.
Sebetulnya, amsih banyak riwayat Ibnu Sina yang
begitu cemerlang namun ajal telah menjemput beliau, pada tahun 1037 M di
Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika
sedang mengajar di sebuah sekolah.Filsafat Wujud.
Metafisika Ibnu Sina
Metafisika Ibnu Sina secara esensial berkenaan dengan
ontologi terhadap wujud serta seluruh distingsi mengenainya itulah yang
menempati peran sentral dalam spekulasi-spekulasi metafisikanya.
Menurutnya,” the reality of a thing depens upon its
existence, and the knowledge og an object is ultimately the knowledge of
its ontological status in the chain of universal existence which
determines all of its attributes and qualities”. Hakekat sesuatu
(reality of thing) tergantung pada eksistensinya dan pengetahuan atas
sebuah obyek pada puncaknya adalah ontology yang tergantung pada
rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan
kualitasnya. Segala sesuatu dialam semesta (universe), berdasarkan
kenyataan (exist), dimasukkan ke dalam wujud (being). Tapi, Tuhan
sebagai wujud murni (pure being) merupakan Asal dan Pencipta segala
sesuatu.Maka Tuhan lebih awal dari alam dan bersifat transenden. Ibnu
Sina juga berpendapat, bahwa: ”Necessary being due to itself
(wajib al-wujud bi-dhatihi) is true in itself, while the contingent
being is ‘false in itself’ and ‘true due to something else other than
itself’. The necessary is the source of its own being without borrowed
existence. It is what always exists.”
Maksudnya, sesuatu yang being (wajib al-wujud bi-dhatihi
) ada pada diri Tuhan, tidak berdasarkan kekuatan lain dalam being maka
ini merupakan pertanyaan yang salah dan tidak mungkin wujud melakukan
tindakan dengan wujud yang lain. Jadi wujud Tuhan berdiri sendiri dalam
dzat-Nya yang akan selalu eksis.
Begitu juga kajiannya,
tentang eksistensi pada segala sesuatu tidak terlepas dari distingsi
fundamental yang menerangkan kemungkinan dan kemustahilannya. Maka
kapanpun orang berfikir eksistensi secara serta merta terdapat 2 aspek
berbeda pada kerangka berfikirnya, yaitu :
Esensi atau kuiditasnya (prinsip ashl), yang semua cukup dalam jawaban atas pertanyaan, apakah sesuatu itu ?.
Eksistensi. Misalnya, ketika seseorang memikirkan
tentang kuda gagasan tentang kuda tersebut atau kuiditasnya, yang
meliputi keadaan, warna dan bentuk yang membentuk sebuah esensi.
Yang terkait erat dengan distingsi mendasar antara
kuiditas dan eksistensi adalah pemilahan Ibnu sina atas wujud (being)
menjadi ” tidak mungkin” ( mumtani’), mungkin (mumkin) dan niscaya
(wajib). Pemilah ini, yang diterima oleh para filosof muslim serta kaum
skolastik latin, tidak etrlihat dalam formulasi Aristoteles, tapi asli
dari Ibnu Sina. Hakikatnya, Ibnu Sina mendasarkan seluruh filsafatnya
pada distingsi diantara tiga pemilahan tersebut dan terdapat
keterkaiatan yang dimiliki oleh kuiditas dan eksistensi dalam setiap hal
dengan yang lain.
Pandangannya tentang wujud tuhan, merupakan wujud
niscaya (wajib al-wujud), atau tuhan yang tidak bisa ”tidak-ada”, karena
esensi dan wujud-Nya adalah hal yang sama. Wujud adalah esensi-Nya, dan
Esensi adalah wujud-Nya yang memiliki self-subsistent. Sedangkan,
semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya merupakan wujud mungkin
dan secara metafisik tergantung kepada Wujud – Niscaya dan mungkin
wujud-wujud tersebut terdiri dari dua macam: 1). wujud yang, sekalipun
mungkin dalam dirinya sendiri, dijadikan niscaya oleh wujud Niscaya dan
2). wujud yang sama sekali mungkin tanpa ada sifat niscaya yang
diapsangkan padanya seperti malaikat yang abadi akibat abadi dari Tuhan.
Wujud abadi dan abadi menurut ibnu Sina adalah
substansi atau aksidensi` sesuai dengan kategorinya yang dibagi menjadi
tiga macam :
Intelek (‘aql) yang sepenuhnya terlepas dari materi dan potensialitas.
Jiwa (nafs) yang sekalipun terlepas dari materi tapi butuh pada tubuh untuk bertindak.
Tubuh (jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang
lebar dan luas, karena itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi
menjadi tiga unsur tersebut.
Sifat Tuhan menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap
pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka dia akan menjadi
lebih baik atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik daripada tidak
melakukannya, jika perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak menciptakan
sesuatu itu maka secara riil dia akan kehilangan kebaikan dan
kesempurnaan, yakni dia tak memiliki kesempurnaan tertentu dan untuk
memperolehnya ia mesti berusaha. Maujud yang membutuhkan upaya untuk
mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan sebagai Wâjibul Wujûd , karena maujud seperti itu adalah maujud yang tak sempurna dan maujud yang tak sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd . Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wâjibul Wujûd
dan perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan
pencapian dan perolehan segala bentuk kebaikan, keindahan, dan
kesempurnaan." Ibnu Sina juga
mendefinisikan maujud sempurna yang sama sekali tak bergantung pada
sesuatu yang lain dan lantas menentukan wujud tak sempurna yang
bergantung pada yang lain. Poin ini merupakan mukadimah untuk menegaskan
bahwa Wâjibul Wujûd tidak berupaya mencapai suatu tujuan
tertentu dalam menciptaan alam. Menurut Ibnu Sina, "Anda ketahui bahwa
mana di antara maujud yang Maha Kuat dan Maha Kaya (tak membutuhkan
sesuatu)? Suatu maujud bisa dikatakan yang Maha Kuat dan Kaya itu jika
tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek: 1. Dari sisi zat,
2. Dari sisi sifat hakiki, 3. Dari sisi kesempurnaan hakiki yang terkait
dengan zat. Oleh karena itu, setiap maujud yang butuh dan bergantung
kepada maujud lain dari dimensi zat, sifat hakiki, dan kesempurnaan
(seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah maujud yang tak
sempurna, fakir, dan lemah. Sedangkan Wâjibul Wujûd merupakan sifat yang
Esa pada tuhan dari sisi zat dan sifat-Nya sama sekali tidak mengandung
kekurangan dan kelemahan. Maka sangat mustahil Tuhan melakukan sesuatu
disebabkan oleh maujud-maujud yang rendah seperti manusia.
Oleh sebab itu, menurut Ibnu Sina sifat-sifat tidak
menyatakan atas wajibul wujud kecuali dengan dzat-Nya. Maka sifat Tuhan
yang satu merupakan dasar dari sifat-sifat Tuhan. Tidak di sekutukan
menyatu dengan dzatnya, bersatu dengan tindakan (fi’il) Tuhan pernyataan
ini menyatakan bahwa tindakan dan keinginan tuhan menyatu dalam
dzat-Nya. Jika Tuhan memiliki sifat yang universal, maka tidak
diperkenankan sebagai wajibul wujud. Hal tersebut sangat berkaitan
dengan “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan
dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi
mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak
ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah Ibnu Sina berkata : “yang
wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga
tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) – dari wujud-Nya, malah
semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak
yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan
tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah
telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru
dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah – olah alam ini tidak perlu lagi
kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun.
Seakan – akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh
Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis
karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan
tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum
kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan
kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu
Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak
semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut.
Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia – sia,
akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar
dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi
tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan
sampai pada perbuatan-Nya, lebih – lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam
bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan
beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum
(mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama – nama ini dipakai oleh Ibnu
Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia
berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep
Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai
pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk
memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan
pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep
pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh
mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan
bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua
mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arah-Nya seperti yang terdapat
dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam
dengan Tuhan.
Emanasi
Bagi kaum sufi, kemurnian tauhid mempunyai wujud dan
semua yang lainnya tidak ada pada hakikatnya (wihdatul wujud) pada diri
tuhan yang berhubungan dengan proses penciptaan alam, paham ini
merupakan emanasi atau al-faidh . Sementara kajian emanasi Ibnu
Sina mengikuti kosmologi platonisme yang mendasar pada distingsi
berusaha menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari yang Satu
(ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah
(akal pertama) penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan
transenden dalam kaitannya dengan seluruh keragaman (multiplicity).
Tapi oleh karena tujuan metafisika Ibnu Sina secara esensial adalah
menampilakan sifat tergantung (contingent). Semesta maka tujuannya dalam
emanasi adalah untuk menggambarkan konsep kesinambungan yang ada antara
Prinsip dan manifestasi-Nya. Sedangkan proses
penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan
malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan.
Dengan menyandarkan pada pada skema Platonian tentang
pancaran hirarkie malaikat berurutan, Ibnu Sina mulai menggambarkan
proses penurunan Semesta bahwa dari Satu atau Kesatuan hanya mungkin
melahirkan satu wujud (ex uno non fit nisi unum). Ibnu Sina juga
menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah penciptaan itu terjadi.
Proses penciptaan dan inteleksi adalah sama, karena melalui kontemplasi
tatanan realitas yang lebih tinggi itulah yang lebih bisa muncul.
Kemudian dari Wujud Niscaya Tunggal- yang merupakansumber segala sesuatu
– wujud tunggal tercipta sesuai dengan prinsip sebelumnya- yaitu akal
pertama (First intellect/al-’Aql al-Awwal) yang disetarakan dengan
malaikat muncullah akal yang kedua yaitu jiwa dan tumbuh akal langit
pertama melalui kontemplasi akal pertama melahirkan akal ketiga, yaitu
jiwa dan tubuh langit pertama. Lalu proses ini berlangsung hingga langit
kesembilan dan melahirkan Akal kesepuluh, yaitu bulan Akal kesepuluh
juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada fikiran manusia. Dari
sinilah substansi semesta tidak lagi memiliki kemurnian untuk melahirkan
langit yang lain. Karena itu, dari kemungkinan kosmik yang tersisa
dunia turun temurun dan berubah muncul. Ia juga berpendapat bahwa dari
akal kesupuluhlah terpancar illuminasi dan penciptaan Tuhan.
Karena itulah emanasi Ibnu Sina pada dasarnya terkait
dengan angelologi dan sangat mengikuti kosmologi Platonian. Menurutnya,
konsepsi Islam tentang hubungan antara Tuhan dan Semesta selalu
berusaha menunjukkan sifat tergantung seluruh tatanan ciptaan terhadap
Sang Pencipta.
Kritik Ghozali terhadap Ibnu Sina
Menurut Ghazali Allah mempunyai sifat dzatiyah dan
fi’liyah yang berealitas dalam wujudnya. Realitas itu adalah Eksistensi
Mutlak yang tidak lain adalah Kebenaran (al-Haqq, Truth), salah satu
aspek Allah swt. Seperti, Allah mengetahui dengan ilmu-Nya dan Allah
berkehendak dengan kekuatan-Nya. Wujud lain yang menerangkan bahwasannya
Allah ada yaitu, Allah Maha mendengar dan mengetahui seluruh kejadian
di bumi ini. Maka manusia akan merasakan secara dekat keberadaan Tuhan
melalui doa dan interaksi spiritual. Sedangkan segala kejadian di bumi
ini merupakan tindakan Allah yang luar biasa dan tak bias di jangkau
oleh ciptaan-Nya. Jadi Ghazali
berpendapat pada mahiyah dalam diri manusia dan ciptaany-Nya berada di
kekuasaan tuhan bukan bergantung pada eksistensinya sendiri setelah
diciptakan Tuhan.
Kemudian kritik al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan
para falasifah, meliputi dua puluh masalah yang paling utama tentang
metafisika dan emanasi karena sangat bersangkut paut dengan tauhid Asma
dan Sifat, yaitu:
Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat
(Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Disini al-Ghazali
berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab
di ciptakan oleh tuhan, karena sifat alam yang qadim dalam arti sejak
zaman tak bermula atau tidak dicptakan padahal alam sendiri berasal dari
Tuhan yang azali.
Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat
(Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat soal
keabadiaan alam itu terserah kepada Tuhan semata. Mungkin saja alam itu
terus menerus tanpa akhir andaikata tuhan menghendakinya. Akan tetapi
bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh
dirinya sendiri di luar Iradah Tuhan.
AL-Ghazali juga menyatakan akan kemungkaran mereka terhadapTuhan dengan pengingkarannya akan hari kiamat.
Kesimpulan
Bagaimanapun konsep tuhan yang di pengaruhi oleh
filosof Yunani khusus Aristoteles, bahwa adalah bumi dan semesta alam
merupakan pancaran dari akal pertama sampai akal ke- sepuluh, sedangkan
wujud tuhan merupakan kesatuan dari dzat dan sifatnya tidak disekutukan
oleh sifat-sifat serta tujuab-tujuan yang di pandang rendah seperti
manusia. Sehingga tanpa disadari ia menyatakan hakekat ciptaan Tuhan
pada alam dan seisinya ada dari yang telah ada bukan dari adam dan
menafsirkan bahwa Allah tidak bertindak hanya berkehendak yang
menunjukkan pada kevakuman. Oleh sebab itu Ghazali menyerang pendapatnya
yang mendasar bahwa alam seisinya dari tidak ada kemudian ada menjadi
tidak ada lagi dan Allah memiliki sifat dzatiyah dan fi’liyah sebagai
wujud dari Kemaha Besaran Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar