C.
ADAT
ATAU ‘URF
1. PENGERTIAN ‘ADAT DAN ‘URF
Kata urf berasal dari
kata arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu
yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian diakui
oleh orang lain.
Sedangkan kata ‘adat
berasal dari bahasa arab dari akar kata : ‘ada, ya’udu mengandung arti takror
(perulangan). Karena itu, sesuatu yang dilakukan satu kali, dua kali belum
dikatakan sebagai adat.
Kata urf pengertiannya
tidak dilihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari
segi bahwa perbuatan tersebut sudah lama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah
menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.[14]
Sedangkan perbedaan
antara kata adat dan urf adalah kata adat menunjukkan suatu perbuatan yang
sudah dikenal dan diakui oleh orang banyak tapi tidak ada penilaian baik dan
buruk atas perbuatan tersebut. sedangkan urf adalah suatu perbuatan yang
dikenal dan diakui oleh masyarat serta ada penilain baik pada perbuatan
tersebut.
2.
MACAM-MACAM
‘ADAT
Dari materi yang biasa
dilakukan :
a.
Urf qouli
Yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata ucapan. Misalnya waladun secara
etimologi mempunyai arti anak yang digunakan untuk anak laki-laki. Akan kata
ini juga digunakan untuk anak perempuan dalam masalah waris.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, kata
walad digunakan hanya untuk anak laki-laki.
Pengggunaan kata “lahmn” tidak hanya untuk
daging sapi, unta akan tetapi segala jenis daging termasuk daging ikan.
uqèdur
”Ï%©!$#
t¤‚y™
tóst7ø9$#
(#qè=à2ù'tGÏ9
çm÷ZÏB
$VJóss9
$wƒÌsÛ
(#qã_Ì÷‚tGó¡n@ur
çm÷YÏB
ZpuŠù=Ïm
$ygtRqÝ¡t6ù=s?
”ts?ur
šù=àÿø9$#
tÅz#uqtB
ÏmŠÏù
(#qäótFö7tFÏ9ur
ÆÏB
¾Ï&Î#ôÒsù
öNà6¯=yès9ur
šcrãä3ô±s?
ÇÊÍÈ
Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (An-Nahl : 14)
b.
Urf fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku pada kebiasaan.
Umpamanya kebiasaan jual-beli tanpa menggunakan ucapan transaksi (aqad).
Kebiasaaam mengambil rokok milik teman tanpa adanya ucapan meminta dan member
tidak dianggap mencuri.
Dari segi ruang lingkup penggunaannya :
a.
Urf umum
Yaitu kebiasaan yang berlaku dimana-mana, hamper
diseluruh penjuru dunia tanpa memandang
Negara, bangsa dan agama. Misalnya menganggukkan kepala sebagai tanda
persetujuan dan menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.
b.
Urf khusus
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
orang didaerah tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disembarang
tempat dan waktu. Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu (matrilineal)
di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku batak. Selain
itu ada juga penggunaan kata budak di daerah tertentu menunjukkan arti
anak-anak bukan hamba sahaya.
Dari segi penilaian baik dan buruk
a.
Urf shahih
Adalah kebiasan yang berlaku di
tengah-tngah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalanya ,
dalam masa pertunangan laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan
hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.[15]
b.
Urf fasid
Adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’
atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
3. PENYERAPAN ‘ADAT DALAM
HUKUM
a.
Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya
mengandung unsur kemaslahatan.
b.
Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur
maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau madarat) namun dalam
pelaksanaannya tidak dipandang baik oleh islam.
c.
Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat
dan tidak mengandung unsur manfaat.
d.
Adat atau urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak
karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil
syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam syara’.
4. PERBENTURAN DALAM ‘URF
a.
Perbenturan antara urf dengan syara
Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara
syara’ dan urf adalah perbedaan dari segi penggunaan suatu ucapan ditinjau dari
segi urf dan syara’.
1) Bila perbenturan urf dan syara’ tidak berkaitan dengan materi hokum maka
didahulukan urf.
2) Bila perbenturan urf dan syara’ dalam hal yang berkaitan dengan materi
hokum maka didahulukan syara’.
b.
Perbedaan antara urf qouli dengan penggunaan kata dalam pengertian bahasa.
c.
Perbenturan urf dengan umum Nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.
Contoh yang popular untuk menunjukkan perbedaan
antara urf dengan nash yang umum adalah akan jual beli salam. Umum Nash melarang
jual beli barang yang tidak ada ditangan sewaktu berlangsung akad jual beli.
Karena itu , umum nash melarang jual beli salam yang tidak ada barang ditangan
pada waktu berlangsungnya akad. Namun karena jual beli dalam bentuk salam ini
telah menjadi urf yang umum berlaku dimana saja maka dalam hal ini urf tersebut
dikuatkan.
d.
Perbenturan urf dengan qiyas
Hamper semua ulama berpendapat untuk
mendahulukan urf atas qiyas. Karena dalil untuk menggunakan urf adalah suatu
kebutuhan dan hajat orang banyak sehingga ia harus didahulukan atas qiyas.
Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli
lebah dan ulat. Imam Hanafi pada awalnya mengharamkan jual beli lebah dan ulat
sutra dengan menggunakan dalil qiyas yaitu mengqiyaskannya kepada kodok dengan
alas an sama-sama hama tanah. Namun kemudian terlihat bahwa kedua jenis
serangga ini mempunyai manfaat dan telah terbiasa untuk memeliharanya (sehingga
telah menjadi urf). Atas dasar ini, muridnya yaitu Muhammad ibn Hasan
Al-Syaibani membiolehkan jual beli ulat sutra dan lebah berdasarkan urf.
5. KEDUDUKAN ‘URF DALAM
MENETAPKAN HUKUM
Kehujahan uraf atau adat dalam istinbath hokum ,
hamper selalu dibicarakan urf atau adat secara umum. Namun sudah dijelaskan
bahwa urf yang sudah diambil oleh syara’ dan ditolak oleh syara’ tidak perlu
diperbincangkan lagi kehujahannya.
D. ISTISHAB
1. Pengertian Istishab
Istishab
menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut
para ahli ushul fiqh, adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap
pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Maksudnya,
apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain
yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap
berlaku sebagaimana adanya.
Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan hukumnya pada suatu waktu maka ia
tetap tidak ada hukumnya pada masa sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang
menetapkan hukumnya. [16]
a.
Menurut
Al-Ghazali
Memberikan definisi istishab dengan istilah itu
berpegang pada dalil akar atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui
adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian dengan cermat,
diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. [17]
b. Menurut
Abd. Al-Wahab Khallaf
Dalil syara’ yang berakhir yang digunakan pegangan
oleh mujtahid untuk mengetahui hukuman dari sesuatu yang disodorkan padanya.
c. Menurut
al-Shaukani
Bahwasanya
apa yang telah ada pada masa yang lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih
ada dimasa sekarang dan pada masa yang akan datang.
d.
Menurut Wahba
Al-Zuhaili
Suatu hukum terhadap penetapan suatu perkara atau
meniadakannya pada saat sekarang atau yang akan datang berlandaskan atas
ketetapan atau peniadaan hukum pada masa yang lalu karena tidak ada dalil yang
merubahnya.[18]
Apabila seseorang mujtahid ditanyai
tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan
nash dalam al qur’an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang
membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau
pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah :
“sesungguhnya
asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Dan hal ini
merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu yang ada di bumi,
seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan
perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang asli.
Apabila
seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat,
tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal
perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya, maka ia menetapkan
hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan (ibahah) adalah
asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya.
2.
Kedudukannya
sebagai Sumber Hukum Islam
Adapun penetapan dalil untuk istishab ini ditetapkan
melalui dua dalil, yaitu:
a. Dalil
syara’, berdasarkan penelitian terhadap hokum syara’ bahwa hokum syara’ itu
tetap berlaku karena berdasar dalil yang menetapkan. Contoh: setiap sesuatu
yang menimbulkan mabuk ditetapkan oleh syara’ menjadi haram, kecuali apabila
telah berubah sifatnya dan telah hilang sifat yang memabukkan.
b. Dalil
akal, bahwa permulaan asal sesuatu itu adalah menguatkan hukumnya, contoh tidak
adanya tuduhan terhadap seseorang itu halal darahnya karena murtad kecuali
apabila sudah ada dalil yang menyatakan kemurtadannya, karena yang asal adalah
haram darahnya.[19]
3. Macam-Macam Istishab
a. Isitishab
yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula
ketetapannya pada syara’.
Contoh: wajib sembahyang yang enam waktu sehari
semalam, diterima oleh akal atas tidak adanya dan tidak ada pula dasar dalam
agama yang menetapkan wajibnya.
b. Istishab
yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara takhsis ataupun
secara nasakh.
Contoh: perkawinan tetap sah selama tidak ada yang
mengubahnya, dapat pula batal apabila ada yang mentakhsiskan atau
menasakhkannya seperti thalaq, fasakh dan khulu’ atau disebabkan meninggalnya
seseorang.
c. Istishab
dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
Contoh: seorang membeli mobil, mobil itu tetap
menjadi hak miliknya selamanya, selama tidak ada pemindahan hak miliknya kepada
orang lain. Jadi dia tetap mempunyai hak milik terhadap mobil itu, karena ia
membelinya.
d. Istishab
menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan.
Contoh: seorang yang sembahyang dengan bertayammum,
apabila dia memperoleh air tidak membatalkan sembahyang atau tidak perlu
mengulang sembvahyangnya lagi.[20]
4. Pendapat Ulama’ Tentang Istishab
a. Menurut
kebanyakan mutakallimin, bahwa istishab itu bukan merupakan dasar hokum Islam,
karena ketetapan hukumpada masa yang pertama membutuhkan dalil, demikian juga
pada masa yang kedua.
b. Pendapat
jumhur Hanafiah yang akhir, bahwa istishab itu merupakan hujjah untuk menolak
atau meniadakan bukan untuk menetapkan atau menguatkan, mereka mengatakan
bahwa, istishab itu adalah suatu ulasan untuk menetapkan sesuatu yang telah ada
atas sesuatu yang ada, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada.
c. Pendapat
jumhur Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah dan ahli dhohir, bahwa istishab adalah
dasar hokum islam secara mutlak untuk menetapkan hokum yang telah tetap sampai
datang dalil atas perubahannya, maka istishab itu patut untuk
menyatakan/menguatkan sesuatu sebagaimana juga patut untuk menolaknya.[21]
5.
Kehujjahan Istishab
Sebagai dikemukakan oleh Abu Bakar
Ismail Muhammad Miqa bahawa ulama dibagi menjadi dua dalam menentukan
kehujjahan istishab. ulama yang menerimanya dan ulama yang menolaknya. ulama
yang menerima istishab sebagai hujjah berargumen bahwa dalam muamalah dan
pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara
mereka. ia dapat dijadikan dasar untuk menentukan hokum tersebut selama tidak
ada dalil yang merubahnya. rujukan tekstualnya adalah al-Qur’an (QS. Al-Baqarah
ayat 29). ulama yang menerima istishab dapat dibedakan menjadi tiga:
a)
Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagai ulama
Syafi’iyah, dan Hanafiah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan hujjah
Syar’iyyat ketika tidak ada dalil dari al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang merubahnya.
b)
Sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa istishab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang;
ia sekedar mengetahui hukum masa lalu sedangkan untuk menentukan hukumnya
sekarang ini. ia memerlukan dalil.
c)
Kebanyakan ulama hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah
untuk menentukan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain. ulama
ini menolak istishab akal.
Sedangkan ulama yang menolak
kehujjahan istishab berargumen bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu
memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari “Syari”. Dalil
syar’iy terdapat dalam nash al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Kalau tidak ditemukan sesuatu
perbuatan atau perjanjian baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah atau dalil
sayara’ yang lainya maka perjanjian atau perbuatan itu dianggap mubah
berdasarkan asal segala sesuatu itu mubah selama belum ada dalil yang
menunjukkan hukumnya berubah. umpamanya hukum daging binatang, benda,
tumbuh-tumbuhan; makanan atau perbuatan yang tidak diterangkan hukumnya oleh
syara’ maka ditetapkan mubah karena mengingat asal segala sesuatu itu mubah.
Istishab dijadikan salah satu dalil
syara’ menurut mazhab Syafi’i. dan diantara contoh hukum yang bersumber dari
istishab umpamanya si A telah diketahui dengan pasti menikah dengan si B maka
kedua orang tadi masih dianggap sebagai suami istri selama tidak ditemukan
bahwa mereka berdua telah bercerai.
Seorang yang sudah berwudhu kemudian
timbul was-was bahwa ia terasa kentut, maka ditetapkan bahwa ia masih dalam
keadaan suci selama tidak ditemukan bukti bahwa ia batal seperti bunyi kentut
atau bau kentutnya. demikianlah setiap yang sudah diyakini adanya dianggap akan
tetap ada sampai ada bukti yang menunjukkan perubahnya dan sebaliknya yang
sudah diyakini tidak ada, ditetapkan tidak ada sampai ada bukti yang
menunjukkan adanya.
Sedangkan Kalangan hanafiyah dan
malikiyah berpendapat bahwa istishab ada bukan untuk menimbulkan hak yang
baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun ia masuh dianggap
masih hidup, yang dengan itu istrinya masih dianggap sebagai istrinya dan
hartanya juga masih berstatus sebagai miliknya sebagai orang yang masih hidup,
namun jika ada ahli waris yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus
disimpan dan balum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih
hidup. Jika terbukti ia telah wafat daan ternyata lebih dulu wafatnya
dibandingkan warisnya maka kadar pembagiannya yang disimpan dibagi antara ahli
waris yang ada. Alasan mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata
didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ihtisan
Dalam
bahasa arab ihtisan berarti menganggap sesuatu itu baik, menurut istilah adalah
meralihkan pemikian seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada
qiyas yang samara tau dari hokum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan
pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
a.
Macam-macam
ihtihsan.
c. Dari
segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai yaitu:
a) Dari
qiyas jaliy menuju qiyas khafiy.
b) Dari
ketentuan nash yang umum menuju hokum yang khusus.
c) Dari
hkum yang umum kepada hukum pengecualian.
d. Segi
sandaran ihtisan yaitu:
4) Dasar
yang berupa khiyas
5) Dasar
yang berupa nash
6) Dasar
yang berupa
2.
Maslahah,
Secara
etimologi sama dengan manfaat, baik dari
segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, terdapat
beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh,
tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali
mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan
menolak kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
a.
Dalam maslahah
mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut:
d.
Hanya berlaku
dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan berubah-ubah
e.
Tidak berlawanan
dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah terkenal (tidak
bertentangan dengan nash)
f.
Maslahah ada
karena kepentinagan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
3.
Urf
adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan
atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu
a. Macam-Macam
‘Adat
Dari materi yang biasa
dilakukan :
c.
Urf qouli
d.
Urf fi’li
·
Dari segi ruang lingkup penggunaannya :
Ø Urf umum
Ø Urf khusus
·
Dari segi penilaian baik dan buruk
c.
Urf shahih
d.
Urf fasid
4. Istishab
menurut bahasa Arab ialah :
pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah :
Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada
dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum
yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
a. Macam-Macam
Istishab
1) Isitishab
yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula
ketetapannya pada syara’.
2) Istishab
yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara takhsis ataupun
secara nasakh.
3) Istishab
dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
4) Istishab
menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan
(http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2012/10/ihtisan-maslahah-mursalah-urf-istishab.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar